MENGKAJI ULANG PERANAN SUKU BUNGA DALAM PENGELUARAN INVESTASI DILIHAT DARI KACAMATA HUKUM SYARIAT
Oleh Jaharuddin
Pengantar
Pengeluaran investasi merupakan variabel penting dalam pembangunan ekonomi, karena melalui pembangunan ekonomi berdampak pada bergeraknya sektor riil yang berdampak pada terjadinya perluasan lapangan kerja, semakin luasnya lapangan kerja maka akan meningkatkan pendapatan masyarakat, jika pendapatan masyarakat meningkat maka akan berdampak pada semakin tingginya kesejahteraan masyarakat (asumsi cateris paribus), jika masyarakat pendapatannya tinggi maka akan mendorong semakin tingginya konsumsi masyarakat yang berakhir pada semakin meningkatnya permintaan, yang kembali akan memberi peluang yang menjanjikan kepada investor untuk menginvestasikan modalnya di Indonesia.
Jika lingkaran ini terjadi maka sektor riil akan bergerak, perekonomian akan berjalan dengan penuh gairah sehingga kesejahteraan masyarakat meningkat, peluang investasi besar dan menjanjikan, penganguran bisa di tekan pada level rendah, dan seterusnya.
Namun kenyataanya adalah belum tentu mekanisme pasar seperti ini berlaku dengan baik, bahkan pasar hari ini malah menunjukkan pergerakan yang lambat, ada variable lain yang ternyata berpengaruh, apakah ini disebabkan oleh faktor suku bunga atau faktor lainnya.
Pada tulisan ini akan dibahas peranan suku bunga dalam pengeluaran investasi, apakah berpengaruh atau malah sebenarnya merugikan atau kontra produktif terhadap mekanisme pasar, apalagi ditinjau dari sisi hukum syariah. Dengan demikian untuk membatasi tulisan ini, perlu pembatasan masalah dan memperkuat terlebih dahulu pengertian suku bunga , pengertian investasi dalam konteks ekonomi konvensional, setelah itu baru dilihat dari sudut pandang hukum syariah.
Pengertian Suku Bunga
David Ricardo berpendapat bunga adalah jika memang banyak yang dapat dilakukan dengan mengunakannya, banyak pula yang diberikan dengan mengunakannya[1]. Dari pendapat David ricardo ini terlihat dengan jelas bahwa Ricardo memperbolehkan adanya bunga, dengan pengandaian jika dengan bunga banyak yang dapat dilakukan maka , dengan mengunakan bunga ini pula akan banyak hal yang akan dihasilkan dari pengunaan bunga tersebut.
Sedangkan Keyness dengan aliran klasiknya mengecam bunga ini dengan pendekatan teori produktivitas. Dia menyatakan bahwa bunga yang dibayarkan karena adanya produktivitas modal [2]. Dari pendapat Keyness ini dapat dilihat bahwa pada dasarnya Keyness membenarkan adanya bunga namun persyaratannya adalah jika bunga tersebut timbul dari produktivitas modal, dengan demikian sebaliknya jika modal tersebut tidak produktive maka tidak layak adanya bunga terhadap modal tersebut.
Sedangkan Bohm Bawaer mengangap bahwa bunga itu timbul karena orang lebih menyukai barang di masa datang, dan menganggap bunga adalah diskonto yang harus dibayarkan. Bunga ditentukan oleh penyediaan dan permintaan akan dana yang dipinjam [3]. Disini terlihat bunga tersebut timbul karena adanya perilaku orang yang menyukai barang dimasa yang akan datang, dengan demikian bunga diangap sebagai biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan barang dimasa yang akan datang, disini kita dapatkan melihat Boowner yang mengangap wajar sekali adanya bunga.
Islam berbicara Bunga
Sebelum jauh membahas tentang bunga dalam investasi maka perlu dikaji telebih dahulu apakah bunga tersebut termasuk riba atau tidak, karena ini akan sangat mempengaruhi pemaparan tulisan ini, maka akan diulas sebagai berikut :
Al-qur’an, dengan jelas mengulas tentang riba sebagai berikut :
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba[4] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[5]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[6] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya[7]”.
Riba berasal dari kata Rabiyah dan Rabwah yang artinya Bukit atau tanah tinggi. Riba secara teknis berarti mengambil tambahan dari modal pokok tanpa ada imbalan penganti yang dapat dibenarkan oleh Syariah Islam[8]. Dengan demikian maka jelas bahwa islam melarang riba dengan berbagai konsekuensinya. Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah bunga sama dengan riba, untuk menjawab pertanyaan ini maka ada beberapa pendapat sebagai berikut :
Afif Abdul Fattah Thabbarah[9] berpendapat bahwa memungut rente (bunga) adalah haram hukumnya, karena islam telah menetapkan bahwa pemilik modal dan orang yang mengusahakannya harus bersepakat dalam untung dan rugi. Sedangkan penetapan bunga tidak demikian.
Dr. Muhammad Hatta berpendapat bahwa bunga yang dibayarkan perusahaan atau peminjam yang sifatnya produktif tidak dilarang, dan yang dilarang adalah yang bersifat konsumtif[10]. Dengan demikian Hatta selaras dengan Keyness, yang melihat dilarang atau tidaknya tergantung dari produktivitas uang tersebut, jika dijadikan modal untuk hal yang sifatnya produktif maka tidak dilarang, sebaliknya jika digunakan untuk hal yang tidak produktif semisal konsumtif maka bunga tersebut dilarang.
Untuk memperjelas posisi riba yang sebenarnya maka beberapa ulama mengemukakan macam-macam riba sebagai berikut [11] :
Riba Fadli, ialah menukarkan dua barang yang sejenis tetapi tidak seimbang atau tidak sama.
Riba Qardli, ialah meminjam dengan syarat memberikan keuntungan bagi yang meminjamkannya.
Riba Jad, ialah berpisah dari tempat terjadinya aqad sebelum pengalihan hak milik dilaksanakan.
Riba Nasa’, ialah penukaran yang diisaratkan terlambat dari salah satu barang.
Keempat macam riba diatas dilarang, dalam perwujudannya karena dapat menimbulkan kerugian salah satu pihak, bahkan mungkin dapat menyengsarakan pihak lain.
Dengan demikian, apakah bunga tersebut sama dengan riba, maka para ulama berpendapat sebagai berikut [12]:
Dengan tegas mengharamkan bunga bank, mereka mengangap bahwa bunga yang diberlakukan oleh bank adalah riba, karena Allah melarang riba walaupun sedikit untuk menutupi pintu kejahatan. Menurut pendapat ini penitipan sesuatu oleh bank (sepihak) tidak sesuai dengan kesepakatan atau azas persekutuan jual beli (untung dan rugi ditangung bersama).
Menghalalkan bunga bank, mereka mengangap bahwa bunga bank itu halal hukumnya, karena bank tersebut bersifat produktif dan pada masa ini tidak ada jalan yang harus ditempuh untuk dapat hidup seperti ummat lain. Maka keadaanya sudah darurat. Oleh karena itu darurat pula hukumnya mengikuti sistem berniaga melalui saluran bank. Salah seorang pengikut ini adalah Prof.DR. Muh. Abdullah Al-arabi.
Bersifat produktif halal dan sebaliknya. Pendapat ketiga ini melihat produktif atau konsumtifnya pelaksanaan muamalah tersebut. Apabila produktif maka diangap halal, sebaliknya apabila konsumtif haram hukumnya atau riba.
Dari ketiga Main stream pendapat para ulama dan cendikiawan tentang apakah bunga tersebut riba atau tidak, maka penulis lebih cendrung sependapat dengan Main stream yang pertama dengan alasan, karena tidaklah tepat apabila dikatakan bahwa pada saat yang sudah modern ini dan terdapat pilihan investasi non bunga dikatakan pada saat ini masih dalam kondisi darurat, dan rasanya terlalu dipermudah untuk mengatakan kondisi hari ini masih tidak ada alternatif non bunga yang bisa dilakukan sehingga diambil Rukhsah terhadap bunga bank yang ada. Alasan lainnya adalah kalau suatu pinjaman tersebut dilihat dari sisi apakah produktif atau konsumtif, maka ini sulit untuk diukur, karena sejarah telah membuktikan bahwa banyak sekali data yang memberi kesimpulan ternyata dengan sistem bunga ini maka modal akan bertambah berlipat-lipat dan yang sengsara adalah si peminjam. Sebagai studi kasus adalah utang Indonesia, yang sampai hari ini tidak mampu membayar pokok pinjaman yang dulu pernah dipinjam pihak pemerintah maupun swasta, dengan demikian bisa diprediksi kapan bangsa ini akan mampu membayar hutangnya jika ternyata yang dibayar setiap tahunnya hanya sebagian kecil dari bunganya saja.
Dengan demikian bunga dalam penulisan tulisan ini adalah riba yang diharamkan dalam islam, karena banyak mudharat yang akan ditimbulkannya.
Pengertian Investasi
Investasi dapat diartikan sebagai pengeluaran atau perbelanjaan penanam modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal dan perlengkapan-perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian [13]. Dalam konteks makro maka pengeluaran dan perbelanjaan pemerintah untuk membeli atau membiayai alat-alat produksi untuk meningkatkan nilai tambah maupun besarnya kuantitas produksi baik barang maupun jasa.
Pengertian Hukum Syariah
Pengertian hukum dalam hukum positif, sebagaimana disebutkan Drs. E. Utrecht, SH[14] , ialah : “Himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu”. Sedangkan pengertian hukum menurut ahli ushul fiqh adalah Khithab (titah) Allah Ta’ala tentang perbuatan mukallaf (subyek hukum), baik menuntut atau memperbolehkan a-tau menjadikan sesuatu[15].
Sedangkan Syariat tersebut menurut beberapa pendapat seperti Ibnu Abbas r.a mengatakan maksud Syariah ialah petunjuk yang jelas. Qatadah mengatakan meksudnya ialah ketentuan-ketentuan, batasan-batasan, perintah dan larangan. Ibnu Zaid, mengatakan maksudnya ialah din[16] . Sedangkan Fakhrurrozi, menjelaskan bahwa syariat adalah hal-hal yang ditetapkan Allah SWT atas para mukallaf (orang yang dibebani melaksanakan hukum Allah Ta’ala) supaya mereka laksanakan (patuhi)[17].
Sedangkan At Thahanawi mengemukakan defenisi Syariat ialah hukum-hukum yang disyari’atkan Allah Ta’ala untuk hamba-hamba-Nya, yang disampaikan oleh salah seorang nabi dari nabi-nabi, (semoga Allah Ta’ala mencurahkan rahmat dan kesejahteraan kepada mereka, begitu pula kepada Nabi kita Muhammad SAW), baik hukum-hukum tersebut tentang amal perbuatan………maupun akidah[18].
Dengan demikian maka untuk membatasi penulisan maka definisi hukum syariat dalam penulisan ini adalah Titah Allah Ta’ala tentang perbuatan mukallaf, baik menuntut atau memperbolehkan a-tau menjadikan sesuatu yang telah ditetapkan Allah SAW supaya dilaksanakan.
Peranan Suku Bunga dalam Pengeluaran Investasi dalam Ekonomi Konvensional
Investasi tergantung dari tingkat bunga; jika tingkat bunga riil naik maka akan menaikkan Cost of Capital (CoC) sehingga menurunkan investasi (hubungan antara investasi dan tingkat bunga riil terbalik) [19]. Dengan demikian semakin tinggi tingkat bunga riil maka akan menyebabkan semakin rendahnya investasi, dan sebaliknya, karena dalam logika investasi jika suku bunga tinggi maka biaya dari mendapatkan modal (Cost of Capital) tersebut akan semakin tinggi, hal ini akan berakibat semakin besarnya beban modal yang akan di tangung pihak investor, didalam mengelola dan mengembalikan modal tersebut dimasa yang akan datang.
Jika Cost of Capital (CoC) tinggi maka akan berakibat kepada beberapa alternatif yang bisa dilakukan pihak investor dalam mengelola dana tersebut, seperti (1). Akan meningkatkan harga produk, hal ini tidak mudah untuk dilakukan karena jika harga output naik, maka hukum permintaan akan berlaku berdampak pada penurunan permintaan terhadap barang tersebut, karena pendapatan masyarakat tetap, hal ini akan berakibat pada lesunya perekonomian. (2). Karena besarnya Cost of Capital (CoC) dapat berkibat terjadinya rasionalisasi pemakaian tenaga kerja (PHK), ini berakibat lebih luas lagi akan terjadinya penambahan penganguran, nah jika hampir semua perusahaan mempunyai modal dari pinjaman dengan sistem bunga dan kondisi bunga riil naik, maka akan berakibat pada penganguran masal. Ini semua akan berdampak pada kelesuan bahkan hancurnya perekonomian, karena jika ini terjadi maka akan ada dampak rembesan lainnya (Multiplier effect) yang bisa berakibat lebih parah lagi.
Dengan demikian dapat dilihat dalam ekonomi Konvensional peranan suku bunga sangat mempengaruhi perkembangan maju atau mundurnya perkonomian suatu negara. Jika suku bunga riil, mengalami kenaikan maka akan berdampak melambatnya pergerakan sektor riil, yang berdampak luas dan langsung ataupun tidak langsung akan berpengaruh pada sektor moneter.
Ketika sektor riil tidak mampu bergerak maksimal dan sektor moneter tergangu maka yang terjadi adalah resesi. Demikian strategisnya faktor suku bunga menentukan pergerakan investasi dalam ekonomi Konvensional.
Walaupun dalam
Peranan Suku Bunga dalam Pengeluaran Investasi dalam hukum Syariat
Dengan demikian maka kita tidak dapat melihat peranan suku bunga dalam pengeluarn Investasi menurut hukum syariat, karena dari uraian diatas telah jelas terdeskripsikan bahwa, suku bunga tersebut merupakan salah satu bentuk riba, dengan demikian penulis berpendapata bahwa islam tidak membenarkan riba, walaupun itu untuk investasi. Untuk melihat bagaimana pengeluaran Investasi yang non Ribawi dalam hukum syariat, maka pembahasan ini akan mengesampingkan aspek riba dengan segala macam kelemahan baik secara teoritis maupun empiris yang sekarang kita rasakan.
Maka cendikiawan muslim perlu merekontruksi teori investasi dengan menghilangkan variable bunga dalam analisisnya.
Beberapa langkah alternatif
Dalam perkembangan investasi mutakhir kita mengetahui bahwa terdapat alternatif, sumber investasi non ribawi di dunia perbankan kontemporer, bahkan ini sedangkan berkembang pesat seperti bagi hasil, obligasi syariah, dan lain sebagainya (di kaji lebih dalam….karena isi dari paper ini disini…..? bantu dong aku belum ada ide dan bahan?????penulis ).
Disamping itu kita perlu merekontruksi teori Investasi minus bunga, dengan optimalisasi peran teknologi, peningkatan nilai tambah….., sehingga kalau digambarkan kurva investasi dalam ekonomi islam adalah sebagai berikut :
Kesimpulan
1. Dalam Hukum syariat maka terdapat tiga pendapat tentang apakah bunga untuk investasi termasuk riba atau tidak, yaitu : jelas-jelas tidak termasuk, termsuk, dan yang ketiga adalah jika untuk investasi maka tidak termasuk riba. Penulis berkeyakinan bahwa bunga untuk investasi tetap dikategorikan riba yang telah jelas hukumnya dalam syariat.
2. Dengan demikian maka dalam hukum syariat tidak terdapat variable bunga dalam teori investasi, dengan demikian perlu direkontruksi teori investasi yang sekarang ada.
3. Variabel lain yang masih berlaku dalam ekonomi syariah adalah pengaruh positif teknologi, value added………
Daftar Pustaka
Al-Qur’an nul Karim, Depag….
Djaslim Saladin, H, SE, Konsep Dasar Ekonomi dan Lembaga Keuangan Islam, Linda Karya Bandung, 2000
Muhammad Anwar Ibrahim, Dr. Teori Akad, Menurut Fiqh Islam, Bahan mata Kuliah Fiqh Muamalah PSKTTI UI, 2003
Sadono Sukirno, Pengantar Teori Makroekonomi, edisi kedua, Raja Grafindo Persada, Jakarta 1994
Tedy Herlambang, dkk, Ekonomi Makro Teori, Analisis, dan Kebijakan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001
[1] Djasmin saladin, hal 47
[2] Djasmin saladin,Op cit, hal 47
[3] Djasmin saladin ,Op Cit, hal 47
[4] Riba itu ada dua macam: Nasiah dan Fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.(penjelasan terjemah; penulis)
[5] Maksudnya: orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.(Penjelasan terjemah; penulis)
[6] Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.(Penjelasan terjemah; penulis)
[7] Surat Al-Baqarah ayat 275
[8] Djasmin Saladin, Op Cit, hal 48
[9] Djasmin saladin ,Op Cit, hal 49
[10] Djasmin saladin ,Op Cit, hal 49
[11] Djasmin saladin ,Op Cit hal 49
[12] Djasmin saladin ,Op Cit hal 49 - 50
[13] Sadono Sukirno, hal 107
[14] sebagaimana dikutip oleh Dr. Anwar Ibrahim dalam Teori Akad (Bahan Mt. Kuliah Fiqh Muamalah PSKTTI UI) hal 23.
[15] Dikutib dari Al-Baidhawi, Minhajul al-Ushuli fi ‘ilmi al-Ushuli dan Al-Badakhsyi, (Kairo:Shubeih), hal 30 dalam Dr. Anwar Ibrahim, Op Cit, hal 23
[16] Dr. Anwar Ibrahim, Op Cit, hal 13
[17] Dikutib dari Fakhrurrazi, Tafsir Al-Kabir, (Teheran:dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah), cet. Ke II, XII, hal 12, dalam Dr. Anwar Ibrahim, Op Cit, hal 13
[18] Dr. Anwar Ibrahim, Op Cit, hal 14.
[19] Tedy Herlambang, dkk, , hal 237
Oleh Jaharuddin
Pengantar
Pengeluaran investasi merupakan variabel penting dalam pembangunan ekonomi, karena melalui pembangunan ekonomi berdampak pada bergeraknya sektor riil yang berdampak pada terjadinya perluasan lapangan kerja, semakin luasnya lapangan kerja maka akan meningkatkan pendapatan masyarakat, jika pendapatan masyarakat meningkat maka akan berdampak pada semakin tingginya kesejahteraan masyarakat (asumsi cateris paribus), jika masyarakat pendapatannya tinggi maka akan mendorong semakin tingginya konsumsi masyarakat yang berakhir pada semakin meningkatnya permintaan, yang kembali akan memberi peluang yang menjanjikan kepada investor untuk menginvestasikan modalnya di Indonesia.
Jika lingkaran ini terjadi maka sektor riil akan bergerak, perekonomian akan berjalan dengan penuh gairah sehingga kesejahteraan masyarakat meningkat, peluang investasi besar dan menjanjikan, penganguran bisa di tekan pada level rendah, dan seterusnya.
Namun kenyataanya adalah belum tentu mekanisme pasar seperti ini berlaku dengan baik, bahkan pasar hari ini malah menunjukkan pergerakan yang lambat, ada variable lain yang ternyata berpengaruh, apakah ini disebabkan oleh faktor suku bunga atau faktor lainnya.
Pada tulisan ini akan dibahas peranan suku bunga dalam pengeluaran investasi, apakah berpengaruh atau malah sebenarnya merugikan atau kontra produktif terhadap mekanisme pasar, apalagi ditinjau dari sisi hukum syariah. Dengan demikian untuk membatasi tulisan ini, perlu pembatasan masalah dan memperkuat terlebih dahulu pengertian suku bunga , pengertian investasi dalam konteks ekonomi konvensional, setelah itu baru dilihat dari sudut pandang hukum syariah.
Pengertian Suku Bunga
David Ricardo berpendapat bunga adalah jika memang banyak yang dapat dilakukan dengan mengunakannya, banyak pula yang diberikan dengan mengunakannya[1]. Dari pendapat David ricardo ini terlihat dengan jelas bahwa Ricardo memperbolehkan adanya bunga, dengan pengandaian jika dengan bunga banyak yang dapat dilakukan maka , dengan mengunakan bunga ini pula akan banyak hal yang akan dihasilkan dari pengunaan bunga tersebut.
Sedangkan Keyness dengan aliran klasiknya mengecam bunga ini dengan pendekatan teori produktivitas. Dia menyatakan bahwa bunga yang dibayarkan karena adanya produktivitas modal [2]. Dari pendapat Keyness ini dapat dilihat bahwa pada dasarnya Keyness membenarkan adanya bunga namun persyaratannya adalah jika bunga tersebut timbul dari produktivitas modal, dengan demikian sebaliknya jika modal tersebut tidak produktive maka tidak layak adanya bunga terhadap modal tersebut.
Sedangkan Bohm Bawaer mengangap bahwa bunga itu timbul karena orang lebih menyukai barang di masa datang, dan menganggap bunga adalah diskonto yang harus dibayarkan. Bunga ditentukan oleh penyediaan dan permintaan akan dana yang dipinjam [3]. Disini terlihat bunga tersebut timbul karena adanya perilaku orang yang menyukai barang dimasa yang akan datang, dengan demikian bunga diangap sebagai biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan barang dimasa yang akan datang, disini kita dapatkan melihat Boowner yang mengangap wajar sekali adanya bunga.
Islam berbicara Bunga
Sebelum jauh membahas tentang bunga dalam investasi maka perlu dikaji telebih dahulu apakah bunga tersebut termasuk riba atau tidak, karena ini akan sangat mempengaruhi pemaparan tulisan ini, maka akan diulas sebagai berikut :
Al-qur’an, dengan jelas mengulas tentang riba sebagai berikut :
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba[4] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[5]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[6] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya[7]”.
Riba berasal dari kata Rabiyah dan Rabwah yang artinya Bukit atau tanah tinggi. Riba secara teknis berarti mengambil tambahan dari modal pokok tanpa ada imbalan penganti yang dapat dibenarkan oleh Syariah Islam[8]. Dengan demikian maka jelas bahwa islam melarang riba dengan berbagai konsekuensinya. Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah bunga sama dengan riba, untuk menjawab pertanyaan ini maka ada beberapa pendapat sebagai berikut :
Afif Abdul Fattah Thabbarah[9] berpendapat bahwa memungut rente (bunga) adalah haram hukumnya, karena islam telah menetapkan bahwa pemilik modal dan orang yang mengusahakannya harus bersepakat dalam untung dan rugi. Sedangkan penetapan bunga tidak demikian.
Dr. Muhammad Hatta berpendapat bahwa bunga yang dibayarkan perusahaan atau peminjam yang sifatnya produktif tidak dilarang, dan yang dilarang adalah yang bersifat konsumtif[10]. Dengan demikian Hatta selaras dengan Keyness, yang melihat dilarang atau tidaknya tergantung dari produktivitas uang tersebut, jika dijadikan modal untuk hal yang sifatnya produktif maka tidak dilarang, sebaliknya jika digunakan untuk hal yang tidak produktif semisal konsumtif maka bunga tersebut dilarang.
Untuk memperjelas posisi riba yang sebenarnya maka beberapa ulama mengemukakan macam-macam riba sebagai berikut [11] :
Riba Fadli, ialah menukarkan dua barang yang sejenis tetapi tidak seimbang atau tidak sama.
Riba Qardli, ialah meminjam dengan syarat memberikan keuntungan bagi yang meminjamkannya.
Riba Jad, ialah berpisah dari tempat terjadinya aqad sebelum pengalihan hak milik dilaksanakan.
Riba Nasa’, ialah penukaran yang diisaratkan terlambat dari salah satu barang.
Keempat macam riba diatas dilarang, dalam perwujudannya karena dapat menimbulkan kerugian salah satu pihak, bahkan mungkin dapat menyengsarakan pihak lain.
Dengan demikian, apakah bunga tersebut sama dengan riba, maka para ulama berpendapat sebagai berikut [12]:
Dengan tegas mengharamkan bunga bank, mereka mengangap bahwa bunga yang diberlakukan oleh bank adalah riba, karena Allah melarang riba walaupun sedikit untuk menutupi pintu kejahatan. Menurut pendapat ini penitipan sesuatu oleh bank (sepihak) tidak sesuai dengan kesepakatan atau azas persekutuan jual beli (untung dan rugi ditangung bersama).
Menghalalkan bunga bank, mereka mengangap bahwa bunga bank itu halal hukumnya, karena bank tersebut bersifat produktif dan pada masa ini tidak ada jalan yang harus ditempuh untuk dapat hidup seperti ummat lain. Maka keadaanya sudah darurat. Oleh karena itu darurat pula hukumnya mengikuti sistem berniaga melalui saluran bank. Salah seorang pengikut ini adalah Prof.DR. Muh. Abdullah Al-arabi.
Bersifat produktif halal dan sebaliknya. Pendapat ketiga ini melihat produktif atau konsumtifnya pelaksanaan muamalah tersebut. Apabila produktif maka diangap halal, sebaliknya apabila konsumtif haram hukumnya atau riba.
Dari ketiga Main stream pendapat para ulama dan cendikiawan tentang apakah bunga tersebut riba atau tidak, maka penulis lebih cendrung sependapat dengan Main stream yang pertama dengan alasan, karena tidaklah tepat apabila dikatakan bahwa pada saat yang sudah modern ini dan terdapat pilihan investasi non bunga dikatakan pada saat ini masih dalam kondisi darurat, dan rasanya terlalu dipermudah untuk mengatakan kondisi hari ini masih tidak ada alternatif non bunga yang bisa dilakukan sehingga diambil Rukhsah terhadap bunga bank yang ada. Alasan lainnya adalah kalau suatu pinjaman tersebut dilihat dari sisi apakah produktif atau konsumtif, maka ini sulit untuk diukur, karena sejarah telah membuktikan bahwa banyak sekali data yang memberi kesimpulan ternyata dengan sistem bunga ini maka modal akan bertambah berlipat-lipat dan yang sengsara adalah si peminjam. Sebagai studi kasus adalah utang Indonesia, yang sampai hari ini tidak mampu membayar pokok pinjaman yang dulu pernah dipinjam pihak pemerintah maupun swasta, dengan demikian bisa diprediksi kapan bangsa ini akan mampu membayar hutangnya jika ternyata yang dibayar setiap tahunnya hanya sebagian kecil dari bunganya saja.
Dengan demikian bunga dalam penulisan tulisan ini adalah riba yang diharamkan dalam islam, karena banyak mudharat yang akan ditimbulkannya.
Pengertian Investasi
Investasi dapat diartikan sebagai pengeluaran atau perbelanjaan penanam modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal dan perlengkapan-perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian [13]. Dalam konteks makro maka pengeluaran dan perbelanjaan pemerintah untuk membeli atau membiayai alat-alat produksi untuk meningkatkan nilai tambah maupun besarnya kuantitas produksi baik barang maupun jasa.
Pengertian Hukum Syariah
Pengertian hukum dalam hukum positif, sebagaimana disebutkan Drs. E. Utrecht, SH[14] , ialah : “Himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu”. Sedangkan pengertian hukum menurut ahli ushul fiqh adalah Khithab (titah) Allah Ta’ala tentang perbuatan mukallaf (subyek hukum), baik menuntut atau memperbolehkan a-tau menjadikan sesuatu[15].
Sedangkan Syariat tersebut menurut beberapa pendapat seperti Ibnu Abbas r.a mengatakan maksud Syariah ialah petunjuk yang jelas. Qatadah mengatakan meksudnya ialah ketentuan-ketentuan, batasan-batasan, perintah dan larangan. Ibnu Zaid, mengatakan maksudnya ialah din[16] . Sedangkan Fakhrurrozi, menjelaskan bahwa syariat adalah hal-hal yang ditetapkan Allah SWT atas para mukallaf (orang yang dibebani melaksanakan hukum Allah Ta’ala) supaya mereka laksanakan (patuhi)[17].
Sedangkan At Thahanawi mengemukakan defenisi Syariat ialah hukum-hukum yang disyari’atkan Allah Ta’ala untuk hamba-hamba-Nya, yang disampaikan oleh salah seorang nabi dari nabi-nabi, (semoga Allah Ta’ala mencurahkan rahmat dan kesejahteraan kepada mereka, begitu pula kepada Nabi kita Muhammad SAW), baik hukum-hukum tersebut tentang amal perbuatan………maupun akidah[18].
Dengan demikian maka untuk membatasi penulisan maka definisi hukum syariat dalam penulisan ini adalah Titah Allah Ta’ala tentang perbuatan mukallaf, baik menuntut atau memperbolehkan a-tau menjadikan sesuatu yang telah ditetapkan Allah SAW supaya dilaksanakan.
Peranan Suku Bunga dalam Pengeluaran Investasi dalam Ekonomi Konvensional
Investasi tergantung dari tingkat bunga; jika tingkat bunga riil naik maka akan menaikkan Cost of Capital (CoC) sehingga menurunkan investasi (hubungan antara investasi dan tingkat bunga riil terbalik) [19]. Dengan demikian semakin tinggi tingkat bunga riil maka akan menyebabkan semakin rendahnya investasi, dan sebaliknya, karena dalam logika investasi jika suku bunga tinggi maka biaya dari mendapatkan modal (Cost of Capital) tersebut akan semakin tinggi, hal ini akan berakibat semakin besarnya beban modal yang akan di tangung pihak investor, didalam mengelola dan mengembalikan modal tersebut dimasa yang akan datang.
Jika Cost of Capital (CoC) tinggi maka akan berakibat kepada beberapa alternatif yang bisa dilakukan pihak investor dalam mengelola dana tersebut, seperti (1). Akan meningkatkan harga produk, hal ini tidak mudah untuk dilakukan karena jika harga output naik, maka hukum permintaan akan berlaku berdampak pada penurunan permintaan terhadap barang tersebut, karena pendapatan masyarakat tetap, hal ini akan berakibat pada lesunya perekonomian. (2). Karena besarnya Cost of Capital (CoC) dapat berkibat terjadinya rasionalisasi pemakaian tenaga kerja (PHK), ini berakibat lebih luas lagi akan terjadinya penambahan penganguran, nah jika hampir semua perusahaan mempunyai modal dari pinjaman dengan sistem bunga dan kondisi bunga riil naik, maka akan berakibat pada penganguran masal. Ini semua akan berdampak pada kelesuan bahkan hancurnya perekonomian, karena jika ini terjadi maka akan ada dampak rembesan lainnya (Multiplier effect) yang bisa berakibat lebih parah lagi.
Dengan demikian dapat dilihat dalam ekonomi Konvensional peranan suku bunga sangat mempengaruhi perkembangan maju atau mundurnya perkonomian suatu negara. Jika suku bunga riil, mengalami kenaikan maka akan berdampak melambatnya pergerakan sektor riil, yang berdampak luas dan langsung ataupun tidak langsung akan berpengaruh pada sektor moneter.
Ketika sektor riil tidak mampu bergerak maksimal dan sektor moneter tergangu maka yang terjadi adalah resesi. Demikian strategisnya faktor suku bunga menentukan pergerakan investasi dalam ekonomi Konvensional.
Walaupun dalam
Peranan Suku Bunga dalam Pengeluaran Investasi dalam hukum Syariat
Dengan demikian maka kita tidak dapat melihat peranan suku bunga dalam pengeluarn Investasi menurut hukum syariat, karena dari uraian diatas telah jelas terdeskripsikan bahwa, suku bunga tersebut merupakan salah satu bentuk riba, dengan demikian penulis berpendapata bahwa islam tidak membenarkan riba, walaupun itu untuk investasi. Untuk melihat bagaimana pengeluaran Investasi yang non Ribawi dalam hukum syariat, maka pembahasan ini akan mengesampingkan aspek riba dengan segala macam kelemahan baik secara teoritis maupun empiris yang sekarang kita rasakan.
Maka cendikiawan muslim perlu merekontruksi teori investasi dengan menghilangkan variable bunga dalam analisisnya.
Beberapa langkah alternatif
Dalam perkembangan investasi mutakhir kita mengetahui bahwa terdapat alternatif, sumber investasi non ribawi di dunia perbankan kontemporer, bahkan ini sedangkan berkembang pesat seperti bagi hasil, obligasi syariah, dan lain sebagainya (di kaji lebih dalam….karena isi dari paper ini disini…..? bantu dong aku belum ada ide dan bahan?????penulis ).
Disamping itu kita perlu merekontruksi teori Investasi minus bunga, dengan optimalisasi peran teknologi, peningkatan nilai tambah….., sehingga kalau digambarkan kurva investasi dalam ekonomi islam adalah sebagai berikut :
Kesimpulan
1. Dalam Hukum syariat maka terdapat tiga pendapat tentang apakah bunga untuk investasi termasuk riba atau tidak, yaitu : jelas-jelas tidak termasuk, termsuk, dan yang ketiga adalah jika untuk investasi maka tidak termasuk riba. Penulis berkeyakinan bahwa bunga untuk investasi tetap dikategorikan riba yang telah jelas hukumnya dalam syariat.
2. Dengan demikian maka dalam hukum syariat tidak terdapat variable bunga dalam teori investasi, dengan demikian perlu direkontruksi teori investasi yang sekarang ada.
3. Variabel lain yang masih berlaku dalam ekonomi syariah adalah pengaruh positif teknologi, value added………
Daftar Pustaka
Al-Qur’an nul Karim, Depag….
Djaslim Saladin, H, SE, Konsep Dasar Ekonomi dan Lembaga Keuangan Islam, Linda Karya Bandung, 2000
Muhammad Anwar Ibrahim, Dr. Teori Akad, Menurut Fiqh Islam, Bahan mata Kuliah Fiqh Muamalah PSKTTI UI, 2003
Sadono Sukirno, Pengantar Teori Makroekonomi, edisi kedua, Raja Grafindo Persada, Jakarta 1994
Tedy Herlambang, dkk, Ekonomi Makro Teori, Analisis, dan Kebijakan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001
[1] Djasmin saladin, hal 47
[2] Djasmin saladin,Op cit, hal 47
[3] Djasmin saladin ,Op Cit, hal 47
[4] Riba itu ada dua macam: Nasiah dan Fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.(penjelasan terjemah; penulis)
[5] Maksudnya: orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.(Penjelasan terjemah; penulis)
[6] Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.(Penjelasan terjemah; penulis)
[7] Surat Al-Baqarah ayat 275
[8] Djasmin Saladin, Op Cit, hal 48
[9] Djasmin saladin ,Op Cit, hal 49
[10] Djasmin saladin ,Op Cit, hal 49
[11] Djasmin saladin ,Op Cit hal 49
[12] Djasmin saladin ,Op Cit hal 49 - 50
[13] Sadono Sukirno, hal 107
[14] sebagaimana dikutip oleh Dr. Anwar Ibrahim dalam Teori Akad (Bahan Mt. Kuliah Fiqh Muamalah PSKTTI UI) hal 23.
[15] Dikutib dari Al-Baidhawi, Minhajul al-Ushuli fi ‘ilmi al-Ushuli dan Al-Badakhsyi, (Kairo:Shubeih), hal 30 dalam Dr. Anwar Ibrahim, Op Cit, hal 23
[16] Dr. Anwar Ibrahim, Op Cit, hal 13
[17] Dikutib dari Fakhrurrazi, Tafsir Al-Kabir, (Teheran:dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah), cet. Ke II, XII, hal 12, dalam Dr. Anwar Ibrahim, Op Cit, hal 13
[18] Dr. Anwar Ibrahim, Op Cit, hal 14.
[19] Tedy Herlambang, dkk, , hal 237
Oleh : Jaharuddin
Pendahuluan
Belum banyak leteratur dalam bahasa Inggris yang kita peroleh untuk membahas isu Akuntanasi dalam sejarah islam, diharapkan dalam perjalanan waktu hal ini akan banyak diungkapkan dengan penerjemahan buku-buku Arab kedalam bahasa Inggris atau Indonesia. Disini kita kan mencoba melihat bagaimana praktek akuntansi (sejauh yang ada dalam literature) di negara yang dapat dikategorikan sebagai negara yang islamnya dominan. Studi mengenai topik ini belum banyak sehingga barangkali analisa kita juga belum lengkap. Kita perlu mengarahkan penelitian kita untuk mengali praktek akuntansi dinegara atau di masyarakat yang hukum sosialnya menerapkan dasar islam. Khususnya selama kurun waktu kejayaan islam sejak zaman Rasulullah sampai abad ke 10 Masehi.[1]
Inilah yang menginspirasikan kepada saya untuk mencoba mencari leteratur yang terbatas dan menuliskan Akuntansi dalam lintasan sejarah yang semoga saja mampu memberikan wacana dalam kekurangan sumber sejarah dari penulisan akuntansi islam di dunia islam. Padahal sebagai seorang muslim kita berkeyakinan bahwa satu-satunya agama yang sempurna hanya islam, ini memberikan informasi kepada kita bahwa pasti ada konsepsi-konsepsi akuntansi didalam islam tersebut.
Penulisan akuntansi islam dalam lintasan sejarah ini berdasarkan konsultasi dengan bapak Sofyan Safri Harahap, maka diawali dari masa Pra islam, Masa Rasulullah SAW ( 1 – 23 H), Masa Khulafa Rasyidin, yaitu Abu Bakar Siddik (632 – 634 M), Masa Umar Bin Khattab ( 634 – 644 M), Masa Ustman Bin Affan (644 – 655 M), serta Masa Ali Bin Abi Thalib (655 – 661 M).
Setelah masa pra islam, Rasulullah dan Masa Khulafa Rasyidin tersebut, maka penulisan akan dilanjutkan kemasa Umayah (661 – 750 M), lebih kurang selama 90 tahun, kemudian Masa Abbasiyah (750 – 1258 M), dan terakhir akan dilanjutkan pada masa Ustmani yaitu kekhalifahan terakhir umat islam sebelum dihancurkan oleh sekulerisme yaitu dari tahun 1258 sampai dengan tahun runtuhnya khilafah Ustmani yaitu tahun 1924M.
Pengertian Akuntansi dalam islam
Sebelum membahas lebih jauh tentang sejarah akuntansi islam maka terlebih dahulu perlu diketahui pengertian akuntansi itu sendiri. Dalam buku A Statement of basic Accounting Theory[2] dinyatakan akuntansi adalah “proses mengidentifikasi, mengukur, dan menyampaikan informasi ekonomi sebagai bahan informasi dalam hal pertimbangan dalam mengambil kesimpulan oleh para pemakainya”. Sedangkan American Institute of certified Public Accountant (AICPA)[3] mendefenisikan akuntansi adalah seni pencatatan, pengolongan, dan pengiktisaran dengan cara tertentu dalam dalam ukuran moneter, transaksi dan kejadian-kejadian yang umumnya bersifat keuangan dan termasuk menafsirkan hasil-hasilnya. Accounting Principles Board (APB)[4] Statement No. 4 mendefinisikan akuntansi adalah suatu kegiatan jasa, fungsinya adalah memberikan informasi kuantitatif, umumnya dalam ukuran uang, mengenai suatu badan ekonomi yang dimaksudkan untuk digunakan dalam pengambilan keputusan ekonomi, yang digunakan dalam memilih diantara beberapa alternatif”. Dengan demikian menurut Muhamad[5] inti persoalan akuntansi adalah bahwa akuntansi merupakan sarana informasi dalam proses pengambilan keputusan bisnis. Selanjutnya didasari pengertian-pengertian akuntansi diatas maka perlu pula di rekontruksi pengertian akauntansi islam tersebut seperti apa. Untuk menjawab pertanyaan ini maka Iwan Triyuwono dan Graffikin (1996)[6] merupakan salah satu upaya mendekontruksi akuntansi modern kedalam bentuk yang humanis dan sarat nilai.
Terdapat perbedaan pendapat tentang bagaimana meng islamisasi kan ekonomi, terdapat tiga main stream di kalngan ekonom dan cendikia islam dunia saat ini, yaitu [7]:
Mazhab Baqir as-Sadr
Mazhab ini berpendapat ilmu ekonomi tidak pernah bisa sejalan dengan Islam, Keduanya tidak akan pernah dapat disatukan, karena keduanya berasal dari filosofi yang saling kontradiktif, yang satu anti islam, yang lainnya islam.
Mazhab Main Stream
Mazhab ini berpandangan tentang masalah ekonomi tidak berbeda dengan pandangan ekonom konvensional, yang berbeda hanya dalam hal pemecahan masalah ekonomi tersebut, dalam ekonomi islam pemecahan masalah ekonomi, dipandu oleh Allah lewat Al-Qur’an dan Sunnah, Tidak didasari dengan mempertuhankan hawa nafsu.
Mazhab Alternatif Kritis
Mazhab ini berpendapat bahwa analisis kritis bukan saja harus dilakukan terhadap sosialisme dan kapitalisme. Tetapi juga terhadap ekonomi itu sendiri. Mereka yakin bahwa islam itu pasti benar, tetapi ekonomi islami belum tentu benar karena ekonomi islami adalah hasil tafasiran manusia atas Al-Qur’an dan Assunnah. Sehingga nilai kebenaranya tidak mutlak. Proposisi dan teori yang diajukan oleh ekonomi islam harus selalu diuji kebenaranya sebagaimana yang dilakukan terhadap ekonomi konvensional.
Dari ketiga mazhab perkembangan ekonomi islam ini mempunyai alasan dan argumen masing-masing, begitu halnya dalam perkembangan akuntansi islam, idealnya akuntansi islam benar-benar lahir tanpa dipengaruhi oleh nilai-nilai ekonomi konvensional yang berideologikan kapitalis, namun kenyataanya akuntansi konvensional tersebut telah ada sementara akuntansi islam tersebut dalam proses mencari format, maka mau tak mau realitas mengatakan akuntansi islam terpengaruhi oleh akuntansi konvensional, maka dalam penulisan ini penulis merekontruksi pengertian akuntansi islam yang dipengaruhi oleh nilai-nilai akuntansi konvensional yaitu salah satu intrumen yang digunakan oleh pengambil keputusan dalam mempertimbangkan keputusan-keputusan bisnis. Dengan demikian maka penulisan ini akan didasari oleh pengertian yang sangat luas tersebut, dengan melihat perkembangan sejarah peradaban islam.
Akuntansi dalam lintasan sejarah
a. Akuntansi di kalangan Bangsa Arab sebelum Islam
Mengawali sejarah peradaban Islam maka tidak akan lengkap jika tidak diawali dengan mengetahui perkembangan peradaban sebelum islam berjaya, dengan demikian untuk menyempurnakan pembahasan akuntanasi dalam lintasan sejarah ini maka terlebih dahulu kita telusuri akuntansi di bangsa arab sebelum islam.
Allah SWT berfirman :
“Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu)kebiasaan mereka berpergian pada musim dingin dan musim panas. Maka, hendaklah mereka menyembah tuhan pemilik rumah ini (Ka’bah), yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menhilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.”[8]
Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa bangsa Quraisy mengandalkan pedagangan untuk mencari nafkah, yaitu mereka selalu melakukan perjalanan dagang pada musim panas dan musim dingin. Dengan demikian mau tak mau para saudagar Qurisy harus mengetahui dasar-dasar perhitungan (akuntansi) dalam transaksi perdagangan mereka, baik antar sesama mereka maupun dengan saudagar-saudagar asing di luar jazirah arab.[9]
Adapun tujuan akuntnaasi di kalangan bangsa rab (yang berdagang keliling) pada waktu itu adalah untuk mengetahui perubahan-perubahan dari jumlah asset, seperti untung dan rugi. Adapun untuk pedagang yang menetap, yang mayoritas pada waktu itu adalah orang yahudi, mereka memakai akuntansi sebagai sarana untuk mengetahui hutang-hutang dan dan piutang. Jadi, konsep akuntansi waktu itu dapat dilihat pada pembukuan yang berdasarkan metode penjumlahan statistik yang sesuai dengan aturan-aturan penjumlahan dan pengurangan.[10]
b. Zaman Rasulullah
Setelah munculnya islam disemenanjung Arab dibawah pimpinan Rasulullah SAW, serta telah terbentuknya daulah islamiyah di Madinah, mulailah perhatian rasulullah untuk membersihkan muamalah maaliyah (keuangan) dari unsure-unsur riba dan dari segala bentuk penipuan, pembodohan, perjudian, pemerasan, monopoli, dan segala usaha untuk mengambil harta orang lain secara bathil. Bahkan Rasulullah lebih menekankan pada pencatatan keuangan. Rasulullah mendidik secara khusus beberapa orang sahabat untuk menangani profesi ini dan mereka diberi sebutan khusus, yaitu hafazhatul amwal (pengawas Keuangan). Diantara bukti seriusnya persoalan ini adalah dengan diturunkannya ayat terpanjang didalam al-qur’an, yaitu surah al-baqarah ayat 282. Ayat ini menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan (kitabah), dasar-dasarnya, dan mamfaat-mamfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukuk yang harus dipedomani dalam hal ini. Para sahabat rasul dan pemimpin umat islam juga menaruh perhatian yang tinggi terhadap pembukuan (Akuntansi) ini, sebagaimana yang terdapat dalam sejarah khulafaur rasyidin. Adapun tujuan pembukuan bagi mereka di waktu itu adalah untuk mengetahui utang-utang dan piutang serta keketrangan perputaran uang. Seperti pemasukan dan pengeluaran. Juga, difungsikan untuk merinci dan menghitung keuntungan atau kerugian, serta menghitung harta keseluruhan untuk menentukan kadar zakat yang harus dikeluarkan oleh masing-masing individu.[11]
Dengan demikian jelas pula begitu besarnya perhatian islam terhadap akuntansi didalam perekonomian islam bahkan telah diterapkan pula beberapa undang-undang akuntansi yang telah ada seperti undang-undang akuntansi untuk perorangan, perserikatan (Syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan pengunaan harta (hijir), dan angaran negara. Maka dengan masa waktu semenjak tahun pertama hijriah sampai 23 hijriah, rasulullah SAW telah membangun fondasi akuntansi islam yang detail yang di belakang hari akan diteruskan oleh sahabat-sahabat beliau, sbegai khalifah penerus jejak langkahnya.
c. Zaman Khulafa Rasyidin
1. Zaman Abu Bakar Siddik
Setelah Rasululullah SAW meninggal dunia maka pada tahun 632 M diangkatlah Abu Bakar Siddik sebagai khalifah pertama umat islam sepeningal Rasulullah SAW. Abu Bakar Siddik memerintah selama dua tahun yaitu smenjak tahun 632 – 634 M.
Selama sekiatar 27 bulan dari masa kepemimpinannya, Abu bakar telah banyak menangani masalah murtad, cukai dan orang-orang yang menolak membayar zakat kepada negara. Salah satu suku telah mengumpulkan zakat dan mendistribusikannya di antara mereka sendiri tanpa sepengetahuan hazrat Abu bakar.
Pada masa Rasulullah, pendapatan baitul maal 9selain hewan) disimpan di Mesjid nabawi, tapi pada saat itu tidak ada uang tunai yang teersisa. Berapapun uang yang masuk, langsung diditribusikan pada saat itu juga termasuk ketika baitul maal menerima uang sebesar 80.000 dirham dari Bahrain.[12]
Sebelum menjadi khalifah, Abu Bakar tinggal di Sikh, yang terletak dipinggir kota madinah tempat baitul maal dibangun. Abu Ubaida ditunjuk sebagai penangung jawab baitul mall. Setelah 6 bulan, Abu Bakar pindah ke madinah dan bersamaan dengan itu sebuah rumah dibangun untuk baitul maal. Sistem pendistribusian yang lama tetap dilanjutkan sehingga pada saat wafatnya hanya satu dirham yang tersisa dalam perbedaharaan keuangan.[13]
2. Zaman Umar Bin Khattab
Abu Bakar meninggal dunia, sementara barisan depan pasukan islam sedang mengancam Palestina, Irak, dan kerjaan Hirah. Ia digantikan oleh “Tangan kanan”nya, Umar Bin Khattab. Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya seudah dekat, ia bermusyawarah dengan pemuka sahabat, kemudia mengangkat Umar sebagai pengantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan dikalangan umat islam. Kebijaksanaan Abubakar tersebut ternyata diterima masyarakat yang segera secara ramai-ramai membaiat Umar. Umar menyebut dirinya Khalifah Khalifati Rasulullah (Penganti dari penganti rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amirul Mu’minin (Komandan orang-oranr beriman).
Umar Bin Khatab memerintah selama 10 tahun yaitu dari tahun 13 – 23 H/ 634 – 644 M, selama masa pemerintahan Umar Bin Khattab banyak sekali perkembangan ekonomi yang dijumpai dan dirasakan umat islam.
Beberapa Kebijakan Umar Bin Khattab di bidang ekonomi.
Karena perluasaan daerah terjadi dengan cepat, Khalifah segera mengatur adiministrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia, yaitu dengan membagi pemerintahan menjadi 8 wilayah propinsi : Mekkah, madinah, Syria, jazirah, basrah, Kufah, Palestina dan Mesir. Kemudian dimasa Umar Bin Khattab ini pulalah didirikan departemen-departemen didalam mengelola pemerintahan, ditertibkannya system pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan antara legislative dan yudikatif, dibentuknya jawatan kepolisian,Jawatan pekerjaan umum , mendirikan Bait al Mal, menempa mata uang dan menciptakan tahun hijriah.[14]
Di masa Umar Bin Khattab, perkembangan bidang ekonomi ini sangat berarti, wajarlah kita mengatakan bahwa Umar Bin Khattab ini adalah ekonom yang sangat ulung dalam merencanakan perekonomian di masanya, hal ini dibuktikan dengan pada pidatao pengankatannya menjadi khalifah terdapat “Platform” kebijakan ekonomi yang akan diterapkannya sebagai berikut .[15]
a. Negara islam mengambil kekayaan umum dengan benar, dan tidak mengambil hasil dari Kharaj dan harta Fai’ yang diberikan Allah kepada rakyat kecualimelalui mekanisme yang benar.
d. Negara memberikan hak atas kekayaan umum, dan tidak ada pengeluaran kecuali sesuai dengan haknya; dan negara menambahkan subsidi serta menutup hutnag.
e. Negara tidakd menerima harta kekayaan dari ahsil yang kotor, seorang penguasa tidak mengambil harta umum kecuali seperti pemungutan harta anak yatim. Jika dia berkecukupan, dia tidak mendapat bagian apapun. Kalau dia membutuhkan, maka dia memakai dengan jalan yang benar.
Bahkan dizaman Umar Bin Khattab ini telah ada pula Anggaran Pendapatan Negara, yang dizaman ini dikenal dengan APBN. Umar Bin Khattab membaginya menjadi 4 bagian. [16], yaitu :
Bagian I : Khusus untuk pengeluaran harta zakat, ayitu untuk kaum fakir, miskin, orang yang menangani zakat, orang yang terpikat oleh islam, budak, orang yang terjerat hutang, sbilillah dan Ibnu sabil.
Bagian II : Khusus untuk pengeluaran dari 1/5 harta rampasan, yaitu untuk Allah SWT.
Bagian III : Khusus untuk pengeluaran harta yang diserahkan kepada baitul mal berupa barang temuan dan peningalan yang tidak ada ahli warisnya, maka sumber pemasukan ini digunakan untuk memberikan infaq kepada kaum fakir.
Bagian IV: Khusus untuk pembiayaan kemaslahatan umum. Ini dibiayai dari sumber pemasukan Jizyah, Kharaj dan ‘Usyur.
Demikian majunya perekonomian di zaman Umar Bin Khattab dan ini merupakan prototipe dari perekonomian islam sesungguhnya, maka pastilah semua perkembangan ekonomi tersebut mempunyai bentuk-bentuk pencataatan, maka bisa dipastikan bahwa di zaman Umar Bin Khattab ini telah ada Akuntansi islam, tetapi seperti apa format-formatnya, misalnya apakah telah ada buku besar, jurnal, laporan rugi laba dan seterusnya penulis belum menemukan letartur yang lebih rinci.
Ustman Bin Affan
Ustman Bin Affan termasuk orang-orang yang lebih dahulu masuk islam lewat atangan Abu Bakar.[17] Beliau lahir di Mekkah Ustman bin Affan bin Abiel Aash bin Umaiyah, bin Abdu Syamis, bin abdu Manaaf.[18] Ia adalah seorang yang jujur dan saleh, tetapi sangat tua dan lemah lembut. Dia adalah salah seorang dari beberapa orang terkaya di antara sahabat nabi. Kekayaannya membantu terwujudnya islam di beberapa peristiwa penting dalam sejarah. Pada awal pemerintahannya dia hanya melanjutkan dan mengembangkan kebijakan yang sudah diterapkan khalifah kedua. Tetapi ketika menemui kesulitan-kesulitan – terlihat jelas bahwa bakat mereka berbeda - , dia mulai menyimpang dari kebijakan yang telah diterapkan pendahulunya yang terbukti lebih fatal baginya dan juga bagi islam.[19]
Dimasa ustman ini untuk mengamankan zakat dari ganguan dan maslah dalam pemerikasaan kekayaan yang tidak jelas oleh beberapa pengumpul yang nakal, hazrat ustman mendelegasikan kewenangan kepada para pemilik untuk menaksir kepemilikannya sendiri. Dalam hubungannya dengan zakat, dalam sambutan Ramadhan biasanya dia mengingatkan “…lihat, bulan pembayaran zakat telah tiba. Barang siapa memiliki property dan utang, biarkan dia untuk mengurangi dari apa yang dia miliki, apa yang dia utang dan membayar zakat untuk property yang masih tersisi…”. Dia juga mengurangi zakat dari pensiun.[20]
Zaman Ali Bin Abi Thalib
Ali Bin Abi Thalib berkuasa selama lima tahun. Sejak awal dia selalu mendapat perlawanan dari kelompok yang bermusuhan dengannya, pemberontakan kaum Khariji dan peperangan berkepanjangan dengan Muawiyah yang memproklamirkan dirinya sebagai penguasa yang independen didaerah syiria dan kemudian mesir. Khalifah sudah memindahkan ibu kota dari madinah ke Kufah tapi tidak ada gunanya.
Khalifah Ali dalam melaksanakan tugasnya mempiunyai konsep yang jelas tentang pemerintahan, dia mampu meberikan job description yang jelas kepada semua elemen pemerintahan yang terkait dibidangnya, di masa Khalifah Ali ini pula dengan jelas ali meminta kepada pejabat tinggi di pemerintahannya untuk membentuk pengadaan bendahara, dengan demikian melekat sekali tugas bendahara dengan accounting. Ciri laian yang ditemuai selama kepemimpinan Khalifah Ali adalah mendistribusikan seluruh pendapatan dan provisi yang ada di Baitul maal Madinah, Busra dan Kufah. Sistem Distribusi dilaksanakan pada setiap hari kamis, pada hari itu semua perhitungan telah diselesaikan dan pada hari sabtu dimulai perhitungan baru. Mungkin cara ini dipandang terbaik dipandang dari segi hukum dan keadaan negara yang sedang mengalami perubahan kepemimpinan. Khalifah Ali meningkatkan tunjangan para pengikutnya di Irak.
Zaman Kekhalifahan Islam
a. Zaman Umayah
Mua’wiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayah bin Abd Asy-Syams bin Abdu Manaf bin Qushay. Nama pangilannya Abu Abdur Rahman al-Umawi. Dia dan ayahnya masuk islam pada saat pembukaan kota Makkah (Fathu Makkah), ia ikut dalam perang hunain, termasuk orang-orang mualaf yang ditarik hatinya untuk masuk islam, dan keislamannya baik serta menjadi salah seorang penulis wahyu.[21]
Mua’wiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayah bin Abd Asy-Syams bin Abdu Manaf bin Qushay inilah peletak batu dasar kekhalifahan Umayah yang berkuasa dari tahun 661 – 750 M, yang lebih kurang berkuasa selama 90 tahun, suatu prestasi yang luar biasa dari sejarah peradaban umat islam yang mampu mempertahankan sutu kekhalifahan selama itu, karena dalam sejarah Khulafa rasyidin yang paling lama bertahan adalah masa Ustman Bin Affan yang mampu betahan selama 12 tahun, yaitu 644 – 655 M.
Walaupun diakui bahwa dikatakan masa kekhalifahan Umayah ini yang bertahan 90 tahun tersebut adalah kekhalifahan dimulai dari Mua’wiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayah bin Abd Asy-Syams bin Abdu Manaf bin Qushay dan diteruskan secara turun temurun terhadap anaknya dan keluarga penerusnya, yang memperlihatkan terjadinya pergeseran pemerintahan dari demokratis menjadi Monarchiheridetis.[22] (Kerajaan turun temurun).
Beberapa Prestasi bidang ekonomi
Disamping ekspansi kekuasaan islam, Bani Umayah juga banyak berjasa dalam pembangunan di berbagai bidang. Muawiyah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatanya dispenjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersejata dan mencetak uang. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim (Qadhi) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri, qadhi adalah seorang specialis dibidangnya. Abd al-Malik mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai didaerah-daerah yang dikuasai islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata tulisan arab. Khalifah Abd al-malik juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan islam. Keberhasilan khalifah abd al-Malik dikuti oleh putranya al-Walid ibn Abd abd al-malik (705-715 M) seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Dia membangun panti-panti untuk orang-orang cacat. Semua personel yang terlibat dalam kegiatan yang humanis ini digaji oleh negara secara tetap. Dia juga membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan mesjid-mesjid megah.[23]
Dari deskripsi perkembangan berbagai segi ekonomi dan sector-sektor penunjangnya diatas dapat dilihat bahwa semua itu memerlukan pencatatan yang rapi, walaupun belum ditemukan literature memberikan informasi terdapatnya lembaga pencatatan dan akuntan yang terlibat dalam proses pembangunan tersebut, namun dari indikasi pembangunan diatas dapat disimpulkan bahwa hal tersebut dicatatkan oleh lembaga tertentu ayng ditunjuk oleh kerajaan untuk memperlancar proses pembangunan tersebut. Dengan demikian di zaman Umayah ini hampir dipastikan telah terdapat proses pencatatan semacam lembaga akuntan yang memberikan input data-data akuntansi dalam pengambilan keputusan oleh pihak kerajaan.
b. Zaman Abbasiah
Dikatakan sebagai zaman keKhalifahan Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa kekhalifahan ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Kekhalifahan Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaanya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d 656 H (1258 M).
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik di zaman kekhalifahan Abbasiyah, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi lima periode:[24], sebagai berikut :
i. Periode Pertama (132H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama
ii. Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh turki Pertama
iii. Periode ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
iv. Periode kempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
v. Peride kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaanyanya hanya efektif di sekitar kota Baghdad
Beberapa catatan ekonomi yang dapat kita temukan dibukus ejarah pada masa kekhalifahan ini adalah pada masa kekhalifahan al-Mahdi (775 – 785 M), perekonomian mengalami perkembangan dengan adanya irigasi, meningkatnya pertambangan emas, perak, tembaga dan bessi dan semakin meningkatnya volume perdagangan melalui pelabuhan Basrah[25]. Dari perkembangan sektor ekonomi ini maka bisa dipastikan semua aktivitas ekonomi ini membutuhkan dan mengunakan pencatatan, namun memang belum ditemukan bentuk pencatatan yang rinci yang dilakukan dimasa ini, namun yang pasti akuntansi telah digunakan dimasa kekhalifahan Abbasiyah ini.
Daulat Abbasiyyah, 132--232 H. /750-847 M. memiliki banyak kelebihan dibandingkan yang lain dalam pengembangan akuntasi secara umum dan buku-buku akuntansi secara khusus. Sebab pada saat itu, masyarakat Islam menggunakan dua belas buku akuntansi khusus (Specialized Accounting Books). Buku-buku ini memiliki karakter dan fungsi dan berkaitan erat dengan fungsi dan tugas yang diterapkan pada saat itu. Di antara contoh buku-buku khusus yang dikenal pada masa kehidupan negara Islam itu adalah sebagai berikut:[26]
1. Daftarun Nafaqat (Buku Pengeluaran). Buku ini disimpan di Diwan Nafaqat, dan diwan ini bertanggung jawab atas pengeluaran Khalifah, yang mencerminkan pengeluaran negara.
2. Daftarun Nafaqat Wal Iradat (Buku Pengeluaran dan Pemasukan). Buku ini disimpan di Diwanil Mal, dan Diwan ini bertanggung jawab atas pembukuan seluruh harta yang masuk ke Baitul Mal dan yang dikeluarkannya.
3. Daftar Amwalil Mushadarah (Buku Harta Sitaan). Buku ini digunakan di Diwanul Mushadarin. Diwan ini khusus mengatur harta sitaan dari para menteri dan pejabat-pejabat senior negara pada saat itu. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 41).
Umat Islam juga mengenal buku khusus yang lain, yang dikenal dengan nama Al Auraj, yaitu serupa dengan apa yang sekarang dinamakan Daftar Ustadzil Madinin (Debtors or Accounts Receipable Subsidiary Ledger). Kata Auraj adalah dari bahasa Parsi, kemudian digunakan dalam bahasa Arab. Auraj digunakan untuk mencatat jumlah pajak atas hasil tanah pertanian, yaitu setiap halaman dikhususkan untuk setiap orang yang dibebani untuk membayar pajak, di dalamnya dicatat jumlah pajak yang harus dibayar, juga jumlah yang telah dibayar dari pokok jumlah yang harus dilunasi. Penentuan jumlah pajak yang harus dilunasi didasarkan pada apa yang dinamakan Qanunul Kharaj (Undang-Undang Perpajakan). (Al Mazindarani 765 H./1363 M.)
Di samping apa yang telah disebutkan, kaum muslimin di negara Islam mengenal pembagian piutang menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Ar Ra’ij minal mal, yang dimaksudkan ialah piutang yang memungkinkan untuk didapatkan, yaitu apa yang sekarang ini dikenal dengan nama Ad Duyunul Jayyidah, dan dalam bahasa inggris dikenal dengan nama Collectable Debts.
2. Al Munkasir minal mal, yang dimaksudkan adalah piutang yang mustahil untuk didapatkan, yaitu apa yang sekarang dinamakan Ad Duyunul Ma’dumah, dan dalam bahasa inggris dikenal dengan nama Bad Debts atau Uncollectable Debts.
3. Al Muta’adzir wal mutahayyir wal muta`aqqid minal mal, yang dimaksudkan adalah piutang yang diragukan untuk didapatkan, dan dalam bahasa inggris dikenal dengan nama Doubtful Debts. (Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 141).
Dari pembagian piutang tersebut ada dua hal penting yang patut didapatkan, yaitu: pertama, pengaruh kehidupan perdagangan terhadap pekerjaan akuntansi, sebagaimana yang telah kami kemukakan pada pendahuluan Bab I; dan yang kedua adalah pembagian ini hanya berpengaruh terhadap penggambaran kondisi keuangan baik bagi negara maupun pribadi, khususnya untuk tujuan zakat. Sebab, penggambaran kondisi keuangan menuntut ketelitian dalam penggambaran hak dan kewajiban. Tidak diragukan lagi bahwa mereka mengetahui pentingnya inventarisasi para debitur untuk mengetahui apa yang mungkin diperoleh pada masa-masa mendatang. Jika tidak, tentu mereka tidak segera mengelompokkan piutang dalam tiga kelompok tersebut. Pengelompokan ini adalah pengelompokan yang digunakan pada masa kita sekarang tanpa menyebutkan bahwa sumbernya adalah di negara Islam. Hal ini mempertegas sekali lagi pentingnya zakat sebagai faktor asasi yang membantu pengembangan akuntansi. Hal ini jika tidak ada faktor lain, maka zakat adalah faktor yang pertama. Sebab, perhitungan zakat menuntut pentingnya inventarisasi para debitur dan kreditur untuk mengetahui pengaruh para debitur dan kreditur terhadap jumlah zakat.
Zaman Ustmani
Pada tahun 656 H/1267 M, Ustman anak Urtughril lahir. Ustman inilah yang kemudian menjadi nisbat (ikon) kekuasaan khilafah Utsmaniyah.[27] Kekhalifahan Ustmani ini berlangsung dari tahun 1258 – 1924 M. dalam masa yang sangat panjang ini banyak sekali sultan erkuasa dengan cork dan karakteristiknya masing-masing.
Pada masa Muhammad al-Fatih, orang-orang Ustmani sangat memperhatikan lintas perdagangan dunia melalui jalur laut dan darat. Mereka mengembangkan cara-cara lama dan membangun sarana-sarana baru yang lebih baik, sehinga memudahkan arus perdagangan disemua wilayah. Ini semua membuat negeri-negeri asing terpaksa membuka pelabuhan-pelabuhan bagi warga negara Ustmani, demi melakukan pedagangan dibawah panji pemerintahan Ustmani. Dampak dari kebijakan umum terhadap sektor perdagangan ini, melahirkan kemakmuran dan kemudahan di seluruh negeri. Pemerintahan Ustmani memiliki mata uang sendiri. Pada saat yang sama, pemerintahan Ustmani tidak meninggalkan pembangunan di bidang industri dengan membangun sarana-sarana badan logistik, membuat senjata dan membangun benteng-benteng ditempat-tempat strategis.[28]
Di antara karya-karya tulis yang menegaskan penggunaan akuntansi dan pengembangannya di negara Islam, sebelum munculnya buku Pacioli, adalah adanya manuskrip yang ditulis pada tahun 765 H./1363 M. Manuskrip ini adalah karya seorang penulis muslim, yaitu Abdullah bin Muhammad bin Kayah Al Mazindarani, dan diberi judul “Risalah Falakiyah Kitab As Siyaqat”. Tulisan ini disimpan di perpustakaan Sultan Sulaiman Al-Qanuni di Istambul Turki, tercatat di bagian manuskrip dengan nomor 2756, dan memuat tentang akuntansi dan sistem akuntansi di negara Islam. Huruf yang digunakan dalam tulisan ini adalah huruf Arab, tetapi bahasa yang digunakan terkadang bahasa Arab, terkadang bahasa Parsi dan terkadang pula bahasa Turki yang populer di Daulat Utsmaniyah,. Buku ini telah ditulis kurang lebih 131 tahun sebelum munculnya buku Pacioli. Memang, buku Pacioli termasuk buku yang pertama kali dicetak tentang sistem pencatatan sisi-sisi transaksi (double entry), dan buku Al Mazindarani masih dalam bentuk manuskrip, belum di cetak dan belum diterbitkan[29].
Al Mazindarani berkata bahwa ada buku-buku--barangkali yang dimaksudkan adalah manuskrip-manuskrip--yang menjelaskan aplikasi-aplikasi akuntansi yang populer pada saat itu, sebelum dia menulis bukunya yang dikenal dengan judul :”Risalah Falakiyah Kitab As Sayaqat”. Dia juga mengatakan bahwa secara pribadi, dia telah mengambil manfaat dari buku-buku itu dalam menulis buku “Risalah Falakiyah” tersebut. Dalam bukunya yang masih dalam bentuk manuskrip itu, Al Mazindarani menjelaskan hal-hal berikut ini [30]:
· Sistem akuntansi yang populer pada saat itu, dan pelaksanaan pembukuan yang khusus bagi setiap sistem akuntansi.
· Macam-macam buku akuntansi yang wajib digunakan untuk mencatat transaksi keuangan.
· Cara menangani kekurangan dan kelebihan, yakni penyetaraan.
Menurut Al Mazindarani, sistem-sistem akuntansi yang populer pada saat itu, yaitu pada tahun 765 H./1363 M. antara lain:
· Akuntansi Bangunan.
· Akuntansi Pertanian.
· Akuntansi Pergudangan
· Akuntansi Pembuatan Uang.
· Akuntansi Pemeliharaan Binatang.
Al Mazindarani juga menjelaskan pelaksanaan pembukuan yang populer pada saat itu dan kewajiban-kewajiban yang harus diikuti. Di antara contoh pelaksanaan pembukuan yang disebutkan oleh Al-Mazindarani adalah sebagai berikut:” Ketika menyiapkan laporan atau mencatat di buku-buku akuntansi harus dimulai dengan basmalah, “Bismillahir Rahmanir Rahim”. Jika hal ini yang dicatat oleh Al Mazindarani pada tahun 765 H./1363 M., maka hal ini pula yang disebut oleh penulis Itali, Pacioli 131 tahun kemudian. Pacioli berkata, “harus dimulai dengan ungkapan “Bismillah’.” (Brown and Johnson, 1963, hal. 28)
Salah seorang penulis muslim juga menambahkan pelaksanaan pembukuan yang pernah digunakan di negara Islam, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Apabila di dalam buku masih ada yang kosong, karena sebab apa pun, maka harus diberi garis pembatas, sehingga tempat yang kosong itu tidak dapat digunakan. Penggarisan ini dikenal dengan nama Tarqin.
2. Harus mengeluarkan saldo secara teratur. Saldo dikenal dengan nama Hashil.
3. Harus mencatat transaksi secara berurutan sesuai dengan terjadinya.
4. Pencatatan transaksi harus menggunakan ungkapan yang benar, dan hati-hati dalam menggunakan kata-kata.
5. Tidak boleh mengoreksi transaksi yang telah tercatat dengan coretan atau menghapusnya. Apabila seorang akuntan (bendaharawan) kelebihan mencatat jumlah suatu transaksi, maka dia harus membayar selisih tersebut dari kantongnya pribadi kepada kantor. Demikian pula seorang akuntan lupa mencatat transaksi pengeluaran, maka dia harus membayar jumlah kekurangan di kas, sampai dia dapat melacak terjadinya transaksi tersebut. Pada negara Islam, pernah terjadi seorang akuntan lupa mencatat transaksi pengeluaran sebesar 1300 dinar, sehingga dia terpaksa harus membayar jumlah tersebut. Pada akhir tahun buku, kekurangan tersebut dapat diketahui, yaitu ketika membandingkan antara saldo buku bandingan dengan saldo buku-buku yang lain, dan saldo-saldo bandingannya yang ada di kantor.
6. Pada akhir tahun buku, seorang akuntan harus mengirimkan laporan secara rinci tentang jumlah (keuangan) yang berada di dalam tanggung jawabnya, dan cara pengaturannya terhadap jumlah (keuangan) tersebut.
7. Harus mengoreksi laporan tahunan yang dikirim oleh akuntan, dan membandingkannya dengan laporan tahun sebelumnya dari satu sisi, dan dari sisi yang lain dengan jumlah yang tercatat di kantor.
8. Harus mengelompokkan transaksi-transaksi keuangan dan mencatatnya sesuai dengan karakternya dalam kelompok-kelompok yang sejenis, seperti mengelompokkan dan mencatat pajak-pajak yang memiliki satu karakter dan sejenis dalam satu kelompok.
9. Harus mencatat pemasukan di halaman sebelah kanan dengan mencatat sumber-sumber pemasukan-pemasukan tersebut.
10. Harus mencatat pengeluaran di halaman sebelah kiri dan menjelaskan pengeluaran-pengeluaran tersebut.
11. Ketika menutup saldo, harus meletakkan suatu tanda khusus baginya.
12. Setelah mencatat seluruh transaksi keuangan, maka harus memindahkan transaksi-transaksi sejenis ke dalam buku khusus yang disediakan untuk transaksi-transaksi yang sejenis itu saja.
13. Harus memindahkan transaksi-transaksi yang sejenis itu oleh orang lain yang berdiri sendiri, tidak terikat dengan orang yang melakukan pencatatan di buku harian dan buku-buku yang lain.
14. Setelah mencatat dan memindahkan transaksi-transaksi keuangan di dalam buku-buku, maka harus menyiapkan laporan berkala, bulanan atau tahunan sesuai dengan kebutuhan. Pembuatan laporan itu harus rinci, menjelaskan pemasukan dan sumber-sumbernya serta pengalokasiannya.[31]
Kalau kita perhatikan pelaksanaan pembukuan tersebut, seluruhnya atau secara umum serupa dengan apa yang digunakan sekarang, terutama poin 9 dan 10. Sebelumnya telah disinggung, salah seorang penulis menyatakan bahwa orang-orang terdahulu mencatat pemasukan dan pengeluaran pada dua halaman yang berhadap-hadapan, dengan sistem debet dan kredit.[32] Sesungguhnya pelaksanaan pembukuan yang telah disebutkan di sini secara umum, khususnya poin 9 dan 10, menggambarkan bentuk tertentu yang memberikan andil dengan suatu sistem atau dengan yang lain dalam pengembangan sistem pencatatan sisi-sisi debet di sebelah kiri dan sisi-sisi kredit di sebelah kanan, baik dalam satu halaman maupun dua halaman yang berhadap-hadapan.
Di samping apa yang telah disebutkan di atas, perkembangan akuntansi mencakup penyiapan laporan keuangan, karena negara Islam telah mengenal laporan keuangan tingkat tinggi. Laporan keuangan ini pernah dibuat berdasarkan fakta buku-buku akuntansi yang digunakan. Di antara laporan keuangan yang terkenal di negara Islam adalah Al-Khitamah dan Al Khitamatul Jami’ah. Al Khitamah adalah laporan keuangan bulanan yang dibuat pada setiap akhir bulan. Laporan ini memuat pemasukan dan pengeluaran yang sudah dikelompokkan sesuai dengan jenisnya, di samping memuat saldo bulanan. Sedangkan Al-Khitamatul Jami’ah adalah laporan keuangan yang dibuat oleh seorang akuntansi untuk diberikan kepada orang yang lebih tinggi derajatnya. Apabila Al-Khitamatul Jami’ah disetujui oleh orang yang menerima laporan tersebut, maka laporan itu dinamakan Al Muwafaqah. Dan apabila Al Khitamatul Jami’ah tidak disetujui karena adanya perbedaan pada data-data yang dimuat oleh Al Khitamatul Jami’ah, maka ia dinamakan Muhasabah (akuntansi) saja.[33]
Kesimpulan
Dari rangkaian sejarah diatas maka dapat disimpulkan bahwa dalam sejarah peradaban islam telah lama dikenal Akuntansi, bahkan semenjak pra islampun telah ada praktek akuntansi di bangsa arab untuk memperlancar proses perdagangan yang menjadi cirri khas utama dalam budaya bangsa arab.
Dalam perkembangannya memang sedikit literature yang membahas bahwa sesungguhnya islam telah lama mengenal akuntansi itu sendiri, - semacam ada kesengajaan pembelokan sejarah – padahal dari paparan diatas jelas sekali sebelum barat berbicara dan menulis tentang akuntansi islam telah dengan detil sekali membahas dan mepraktekkan akuntansi, sebagai bukti dapat dilihat pada masa-masa keeasan islam semisal Kekhalifahan Ustmani.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an, dan Terjemahan, edisi Revisi, Departemen Agama, “Mahkota” Surabaya, 1990
Adiwarman Karim, Ir, SE, M.A, Ekonomi Mikro Islami, IIIT Indonesia, 2002.
Adiwarman Karim, Ir, SE, MA, Sejarah Ekonomi Islam, IIIT Indonesia, 2002.
Ali Muhammad Ash-Shalabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Ustmaniyah, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2003
Badri Yatim, Dr, MA, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Rajawali Press, Jakarta 2001.
Husein Syahatah, Dr. Pokok-pokok pikiran Akuntanssi Islam, Akbar Jakarta, 2001
http://www.tazkiaonline.com; Sejarah Akuntansi diNegara Islam, Mei 2003
Ibrahim Lubis, H,Drs, Bc. Hk.Dipl.Ec, Ekonomi Islam Suatu Pengantar, Kalam Mulia, Jakarta, 1994
Imam As-Suyuti, Tarikh Khulafa’, Sejarah penguasa Islam: Khulafa’urrasyidin, Bani Umayah, Bani Abbasiyyah, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2001.
Muhamad, Prinsip-prinsip akuntansi dalam Al-qur’an, UII Press Yogyakarta, 2000.
Quthb Ibrahim Muhammad, Kebijakan Ekonomi, Umar Bin Khattab, Pustaka Azzam, Jakarta 2002.
Sofyan Syafri Harahap, PhD, M.Acc, Menuju Perumusan Teori Akuntansi Islam, Pustaka Quantum Jakarta, 2001
Syaikh Muhammad Yusuf Al-Kandahlawy, Sirah sahabat, Keteladanan Orang-orang di sekitar Nabi, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2002
[1] Sofyan Syafri harahap, PhD, hal 149
[2] Dalam Muhamad, hal 3
[3] Dalam Muhamad, hal 4
[4] Dalam Muhamad, hal 4
[5] Dalam Prinsip-prinsip akuntansi dalam alqur’an, Op cit, hal 4
[6] Muhamad, Op Cit hal 7
[7] Karim, Adiwarman, Ir, SE, M.A, hal 13 - 16
[8] Al-Qur’an, surat al-Qurisy : 1-4
[9] Husein Syahatah, Dr, hal 19
[10] Husein Syahatah, Dr, Op Cit hal 19
[11]Husein Syahatah, Dr, Op Cit hal 20 - 21
[12] Adiwarman karim, Ir, SE, MA, Op Cit, hal 44
[13] Adiwarman karim, Ir, SE, MA, Op Cit, hal 44
[14]Badri Yatim, Dr, Op cit, hal 37-38
[15] Quthb Ibrahim Muhammad, hal 34
[16] Quthb Ibrahim Muhammad, Op Cit, hal 108
[17] Syaikh Muhammad Yusuf Al-Kandahlawy, hal 31
[18] Ibrahim Lubis, Drs, Bc Hk. Dipl.Ec, hal 19
[19] Adiwarman Karim, Ir, SE, MA, hal 56
[20] Adiwarman Karim, Ir, SE, MA, Op Cit, hal 58
[21] Imam As-Suyuti, hal 229
[22] Badri Yatim Op cit, hal 42
[23] Badri Yatim, Op Cit, hal 44 - 45
[24] Bojeni Gajane Stryzewska, Tarik al-Daulat al-Islamiyah, (Beirut: al maktab al-tijari, tanpa tahun), hal 360, dikutip didalam Badri Yatim, Dr, MA, hal 49.
[25] Badri Yatim, Dr. Op cit, hal 52
[26] http://www.tazkiaonline.com, Mei 2003
[27] Al Sultan Muhammad Al Fatih, Abdus Salam Abdul Aziz, hal 12, dikutib dalam Ali Muhammad Ash-Shalabi, Dr, hal 43
[28] Ali Muhammad Ash-Shlabi, Dr, Op Cit, hal 186
[29] http://www.tazkiaonline.com, mei 2003
[30] dalam http://www.tazkiaonlie.com, mei 2003
[31] Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 163—165, dalam http://www.tazkiaonlie.com, mei 2003
[32] Heaps, 1985, hal. 19—20 dalam http://www.tazkiaonlie.com, mei 2003
[33] Muhammad Al Marisi Lasyin, 1973, hal. 138, dalam http://www.tazkiaonlie.com, mei 2003
------------
makalah ini dibuat saat penulis mengambil mata kuliah Akuntansi Syariah dengan Dosen Sofyan Syafri Harahap,Ph.D di Pasca sarjana Ekonomi dan Keuangan Syariah UI, tahun 2003
Oleh: Jaharuddin
Latar belakang Masalah
Di awal kelahirannya, Islam dihadapkan pada gelombang filsafat Romawi dan Persia dengan beragam bentuk dan kualitasnya. Dan pada awal abad 19, Islam diserang oleh pemikiran filasafat dan ide-ide pambaharuan yang pada intinya adalah “pengraguan” terhadap orsinilitas dan relevansi Islam dalam menghadapi perkembangan zaman, seperti yang dilakukan para islamolog, para orientalis dan para murid didikannya.
Usaha musuh-musuh Islam tersebut dibantu oleh kondisi internal umat Islam dalam memahami Islam itu sendiri. Dimana umat terpecah kepada dua bagian. Yang satu memposisikan dirinya sebagai potret kuno warisan masa lalu yang tidak meyakini kemajuan zaman dan tidak membuka diri untuk berinteraksi secara baik dengan perkembangan zaman. Yang kedua; mewakili sistem modern dengan arus modernisasi IPTEK dan pesan-pesan materialis sekuler yang sama sekali tidak meyakini nilai-nilai turast (klasik islami) dengan nilai-nilai akidahnya.
Kutub pertama yaitu turatsiyun al-madhawiyun (tekstualis atau skripturalis) selalu beranggapan bahwa generasi awal tidak menyisakan satu masalahpun bagi generasi penerus untuk berdinamika dan berinovasi. Tak ada ijtihad dalam fiqih, tidak ada kreasi baru dalam bidang sastra, tidak ada inovasi ilmu pengetahuan, tak ada renovasi industri dan tak ada pembaruan dalam agama dan kehidupan.
Sebaliknya adalah al-‘ashriyun (modernis) yang hendak melakukan pembaruan dalam segala bidang. Mereka mengusung paham “liberal” daripada isu modernitas itu sendiri. Dalam bahasa Roger Graudy; “mereka mengemas kebudayaan Barat dalam kemasan Islam”. Dalam bahasa Iqbal; "hanya Ka'bah yang tak bisa diperbaharui". Sedang Rafi'i berkata; "Mereka menginginkan pembaruan dalam agama, bahasa, bahkan matahari dan bulan sekallipun".
Dua trend pemikiran umat di atas ibarat dua kutub yang saling tarik menarik. Dari kutub pertama; yang muncul adalah kejumudan dalam tasyri’ islami (syari’at Islam) baik dalam segi ide, pola fikir, modul, maupun petunjuk praktis pelaksanaan umat dalam realitas perihidup dan kehidupan keseharian.
Realitas dari kejumudan tersebut seperti yang diungkapkan almarhum Syekh Mahmoud Syaltut mantan Grand Syekh Al-Azhar Mesir tercermin dari poin-poin di bawah ini;
Umat lebih disibukkan oleh diskursus lafdziah (kulit) yang jauh dari nilai subtantif. Atau dalam istilah Dr. Muhammad Imarah dikenal dengan perang terminologi. Sangat kultus terhadap pendapat dan pemahaman yang ditulis generasi terdahulu, sehingga menutup diri untuk mengkritik atau sekedar melahirkan ide baru.
Terlalu disibukkan dengan retorika pemikiran dan kemungkinan-kemungkinan akal yang tidak praktis dan jauh dari realita amali, disamping bersikap tak acuh untuk mengembangkan fiqh amali (fikih praktis) yang sangat dibutuhkan manusia dalam proses mu’amalah dan sistem peradilan mereka.
Terlalu disibukkan dengan mencari-cari dan membuat-buat alibi apologetik yang bisa menghindarkan diri dari kewajiban hukum syar’i. Bahkan bukan saja hukum syar’i yang merupakan hasil ijtihad para ulama mujtahidin, tapi lebih dari itu menggugurkan kewajiban yang diundangkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Fanatisme buta terhadap madzhab-madzhab fiqh yang sangat berlebihan, hingga tak sedikit pengikut madzhab yang memfatwakan tidak sah melakukan hal-hal yang berbeda dengan keputusan madzhabnya. Semakin tersosialisasinya pemikiran yang mengharamkan mengikuti madzhab selain madzhab yang empat.
Sedang dari kutub kedua; munculnya ide “pembaruan kebablasan” yang jauh dari norma, kaidah, dan kode etik syariat itu sendiri. Dimana mereka lebih mirip dengan “gerakan pengraguan” daripada pembaharuan. Gerakan ini diusung oleh mereka para islamolog, para orientalis, dan murid-muridnya yang tersebar di seluruh negri-negri Islam. Mereka mendapat dukungan sarana dan prasarana memadai oleh dari penjajah Barat yang turut memperparah kondisi sosial, ekonomi, dan politik umat Islam. Dimana saat itu hampir seluruh negri-negri Islam berada di bawah cengkraman penjajahan yang tentunya selalu berusaha memecah belah persatuan umat dengan memetik sinar perpecahan dalam berbagai aspek, termasuk aspek fiqh yang telah terbukti menjadi sangat rentan meniup perpecahan umat.
Kejumudan umat Islam memahami syariat bermula dari ketidakmampuan kelompok pertama untuk membedakan fase-fase dimana syariat tersebut diundangkan (‘ahdus syari’ah) melalui turunnya wahyu dan sunah Rasul serta ijma’ sahabat, dengan fase (‘ahdut tatbiq al-syari’ah) dimana fiqh diaplikasikan dan dijabarkan menurut situasi para ulama madzhab. Maka yang terjadi adalah fanatisme buta seperti yang diungkapkan Grand Syekh Mahmoud Syaltut.
Tentunya kedua fase tersebut sangat berbeda dan memiliki karakteristik tersendiri. ‘Ahdus syari’ah adalah masa Rasul Saw hidup dan menerima ketetapan wahyu dari Allah SWT, dan juga masa Khulafaur Rasyidin. Fase ini berlangsung lebih kurang 50 tahun. Dengan karakteristik mentashil (mengautentikan) syariat dari wahyu dan sunah Rasul SAW serta ijma’ para shahabat di masa Khulafaur Rasyidin. Maka keputusan syariat yang diundangkan pada fase ini yang bersumber dari al-Quran, al-Sunah, dan ijma’ shahabat sifatnya abadi, dawam (abadi), istimrar (kontinyu), dan tidak bisa dirubah dalam kondisi, situasi, tempat, dan waktu apapun.
Selanjutnya fase kedua yaitu fase ‘ahdut tatbiq al-syari’ah (Masa penerapan Syariah), merupakan fase aplikasi bayani dari perundangan yang disyariatkan fase pertama. Karakteristiknya adalah mengaktualisasikan syariat tersebut sesuai penafsiran dan tajribah (trial and error) para ulama mujtahidin kala itu. Maka unsur maslahat sangat dominan. Dengan demikian, keputusan para mujtahidin pada fase ini sifatnya tidak mengikat untuk kondisi generasi selanjutnya. Karena situasi dan kondisi akan terus mengalami perubahan dengan maslahat yang berbeda pula. Oleh karena itu sikap generasi setelah generasi tersebut adalah membuka pintu ijtihad dengan kembali menta’shil syariat dari sumber asal al-Quran, al-Sunah, dan Ijma’ Shahabi berikut memperhatikan dan mempelajari hasil ijtihad dan keputusan-keputusan para ulama mujtahidin sebagai i’tibar (bahan rujukan).
Sedang umat juga merasa risih dengan keberanian kelompok kedua yang sangat transparan dan tanpa etika mengusung pembaharuan dalam syariat hingga menyentuh aspek-aspek “sensitif” yang sangat dihormati umat kebanyakan. Yang terjadi adalah, umat merasa sempit untuk mangaplikasikan syariat namun tidak mau vulgar begitu saja meninggalkan syariat dan digantikan oleh perundangan made in manusia.
Kedua kutub tersebut dengan berbagai labelnya tidak membawa kebaikan bagi umat sedikitpun. Sebab sikap ghuluw (berlebihan) dalam beragama dilarang oleh Islam itu sendiri. Bahkan menyalahi fitrah Islam yang disifati dengan sifat wasathiah (poros tengah). Dan kita diperintahkan untuk bersikap sebagai poros konsiliasi antra dua kutub yang bersebrangan dan melakukan tranpalansi satu sama lainnya yang mampu mengikis semua dikotomi klasik modern, antara warisan dan pendatang baru, antara masa lalu dan masa sekarang dan menyatukan turast dengan kontemporer atau istilah sekarang dikenal dengan ashalah (autentik) dan mu'ashirah (kontemporer). Terangkatlah syiar Al-Jam'u (penyatuan), attaufiq (konsiliasi) dan wasathiah (moderasi). Allah Swt berfirman;
يا أهل الكتاب لا تغلوا في دينكم ولا تقولوا علي الله إلا الحق
“
Wahai Ahli Kitab janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu
Wahai Ahli Kitab janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu” (An-Nisa; 171)
وكذلك جعلناكم أمة وسطا لتكون شهداء علي الناس ويكون الرسول عليكم شهيدا
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil (wasath) dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu …” (al-Baqarah: 143).
Dari titik tolak ini sangat nampak urgensi dan esensi misi “tajdid” (pembaharuan) hakiki dalam bidang fiqih. Pembaharuan yang sifatnya wasathiah tidak terlalu terbuka vulgar, juga tidak terlalu tertutup terhadap perkembangan zaman. Pembaharuan yang menitikberatkan pada bidang furu (fiqh) tidak menyentuh ushul syariat (pokok-pokok syariat) dengan label maslahat dan paradigma “mereaktualisasi al-Quran dan al-Sunah” jauh dari fanatisme madzhabi.
Salah satu poin tajdid tersebut adalah mencarikan solusi dari setiap problematika kontemporer yang timbul dari perkembangan manusia secara keseluruhan. Sebab nash-nash sangat terbatas dan tidak merinci setiap masalah. Sedang problematika, perkembangan, dan masalah tidak akan pernah terbatas. Maka dari sini perlunya lahir satu konsep fiqh dengan metodologi dan ijtihad fiqh baru yang merupakan hasil konvergensi dari ijtihad terhadap nash al-Quran, al-Sunah, fiqh shahabi, dan hasil ijtihad ulama salaf. Atau yang dikenal sekarang dengan istilah Fiqh Nawazil.
Sebenarnya mabda Fiqh Nawazil bukan hal baru dalam Islam. Dimana Islam sangat terbuka dengan setiap perubahan. Dari sekian ribu ayat al-Quran, hanya sekian persen ayat yang tertutup dari intrepretasi mujtahid. Begitu pun dengan al-Sunah. Bahkan Rasul SAW telah menggariskan kaidah-kaidah aqli yang dimodifikasikan oleh ulama tabi’in dan atba’uttabi’in dengan kaidah ushul fiqh. Bahkan para ulama madzhab sendiri sangat anti taklid, apalagi kultus atau fanatisme buta terhadap buah ijtihadnya. Mereka semua terlepas diri dari kejumudan wacana fiqh. Maka wajar bila masa para madzhab, sekitar abad 4 Hijriah dikenal dengan “zaman keemasan” fiqh Islam.
Juga usaha ke arah tajdid fiqh telah dirintis ulama-ulama terdahulu semacam Imam Syatiby, Syekh Ibnu Taimiyah dan muridnya Syekh Ibnul Qayyim. Peran mereka sangat brilian dengan mereaktualisasikan konsep-konsep ijtihad yang telah digariskan para ulama sebelumnya dengan mereposisi semua sesuai proporsinya.
Tajdid “fiqh” sangat terbuka dengan terbukanya pintu maqashid syar’iyah yang menjadikan umat Islam mampu mengimbangi kehidupan kontemporer dan postkontemporer kapan pun, dengan tidak keluar dari jalur syariat. Disini urgensi pembahasan maqashid syar’iyah untuk dikedepankan. Semoga tulisan ini bisa mengawali kajian maqashidi khususnya di kalangan cendekiawan Indonesia.
Terminologi Maqashid
Allah suci dari kesia-siaan dalam syari’atnya, sehingga Al-Qur’an menjadikan ibadah mehdhah mengandung sebab-sebab dan berbagai hikmah yang dapat dipahami akal. Sebagaimana terdapat dalam firman Allah “Sesungguhnya Shlalat mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar.” (Al-ankabut : 45). Allah berfirman dalm penjelasan diwajibkannya puasa, “Agar kamu bertaqwa” (Al-Baqarah:183), dan tentang haji, “Supaya mereka menyaksikan berbagai mamfaat bagi mereka dan upaya mereka menyebut nama Allah” (Al-Haj:28). Demikian juga Allah berfirman dalam hal zakat, “Membersihkan dan mensucikan mereka dan berdo’alah untuk mereka” (At-Taubah:103)[1].
Hukum yang pengaturannya melalui dalil-dalil kulli seperti : haram membunuh orang tanpa ada sebab, haram memakan harta orang lain dengan jalan yang tidak syah (menyalahi hukum) dan sebagainya, hukum-hukum tersebut bersendikan prinsip-prinsip yang kokoh, yaitu prinsip keadilan dn kebajikan yang hakiki[2].
Sementara itu Muhammad Abu Zahrah[3] mengungkapkan syariat islam datang membawa rahmat bagi umat manusia . Firman Allah SWT “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. 21:107). Dan “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. 10:57). Oleh karena itu, ada tiga sasaran hukum islam, yaitu :
1. Penyucian jiwa
Agar setiap muslim bisa menjadi ssumber kebajikan, bukan sumber keburukan bagi masyarakat lingkungannya.
2. Menegakkan keadilan dalam masyarakat islam
Adil baik menyangkut urusan ddi antara sesama kaum muslimin maupun dalam berhubungan dengan pihak lain (non muslim). “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang akamu kerjakan. (QS. 5:8)”.
3. Untuk maslahat.
Ini merupakan puncak yang hendak dicapai, yang harus terdapat didalam setiap hukum islam. Tidak sekali-kali suatu perkara disyariatkan oleh islam melalui Al-Qur’an maupun sunnah melainkan disitu terkandung maslahat yang hakiki, walupun maslahat itu tersamar pada sebagian orang yang tertutup oleh hawa nafsunya.
Dengan demikian jelas sekali dari beberapa ayat di atas sesungguhnya segala sesuatu yang telah disyari’atkan Allah SWT mempunyai Maqasid Syari’ah. Adapun beberapa ketentuan dari Allah yang belum diketemukan maqasid syari’ahnya sampai hari ini adalah karena keterbatasan manusia untuk melekukan pengkajian dan penelitian yang mendalam tentang aspek tersebut, atau karena hal ini memang sunnatullah karena akal fikiran manusia yang terbatas, dengan demikian maqasid syari;ah tersebut adalah tujuan syariat berupa kemaslahatan di dunia akhirat bagi manusia, baik secara eksplisit diundangkan oleh Al-Quran maupun hanya secara implisit saja. Maqashid ini disebut juga dengan istilah ‘ilat hukum, makna, hikmah, munasabah, dan maslahat.
Urgensi Pemikiran Maqashid
Menurut Dr. Thaha Jabir Ilwani[4] dampak negatif dari sikap apatis kita terhadap pemikiran maqashidi adalah; Pemikiran Islam hanya tereduksi ke dalam blunder teknis fiqh semata, tidak bisa berkembang walau sudah berusaha bagaimanapun agar bisa terbuka.
Kristalisasi makna “ta’abbud” (penghambaan) hanya dalam artian “tahannuts” semata. Hal ini menjadikan wahyu jauh dari kehidupan realitas. Hal ini akan beakibat tidak medarh dagingnya nilai-nilai syari’ah dalam semua aktivitas kehidupan ummat.
Dengan demikian diperlukan usaha-usaha yang sistematis untuk mengerti minimal mengetahui, apa maksud Allah SWT membuat suatu syri’at yang telah pasti akan memberikan mamfa’at bagi manusia, sehingga internalisasi nilai islam dan islam sebagai rahmatal lil alamin dan sebagai sumber inspirator dalam kehidupan semoga bisa terwujud.
Dalil Pemikiran Maqashidi
Tujuan Syari’ dalam pembuatan hukum, ialah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, memberikan kemanfaatan dan menghindarkan kerusakan serta kebinasaan umat manusia. Kewajiban-kewajiban dalam syariat menyangkut perllindungan maqashid syar’iyah yang pada gilirannya bertujuan melindungi kemaslahatan manusia. Dengan demikian maqasihd dan maslahat menjadi tema-tema (istilah) yang bisa saling dipertukarkan.
Lalu apa yang dimaksud dengan maslahat? As-Syatibi mendefinisikannya dengan apa-apa yang menyangkut rizki manusia, pemenuhan kehidupan, dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya.
Sedangkan Imam Ghazali mendefinisikannya dengan maslahat yang dicapai oleh manusia baik dunia maupun akhirat, baik maslahat itu dicapai dengan cara jalbu al-manafi’ (meraih manfaat) atau dengan cara daf’u al-dharar (menolak bahaya).
Kedudukan maqashid dalam syariat Islam didukung dengan dalil-dalil qathi Al-Quran dan Al-Sunnah. Hal ini mengingat Syariah sebagai basis petunjuk abadi bagi perilaku individu dan sosial muslim yang berasal dari al-Quran dan Sunnah, memiliki sebuah tujuan, yakni keadilan dalam segala manifestasinya.
Dalil-dalil al-Quran misalnya QS. Al-Anbiya 107, Yunus 57, Al-Jatsiyah 20, An-Nisa 165. Ayat-ayat ini secara eksplisit dan tegas menyatakan bahwa misi diutus para rasul adalah “membawa rahmat” bagi hamba-Nya. Barangsiapa yang menerima rahmat tersebut, ia akan berbahagia dunia akhirat. Dan siapa saja yang menolaknya, ia dalam keadaan merugi.
Syekh Muhammad Thahir bin ‘Asyur menyebutkan dua landasan fundamental maqashid dalam Islam, yaitu:
Fitrah, sesuai firman Allah Surat Ar-Rum 30. Fitrah disini seperti ditafsirkan Ibnu Athiyah adalah kesiapan sejak mula untuk mengetahui syariat-syariat Allah Swt dan mengimaninya. Sedang Imam Zamakhsyari menginterpretasikan dengan “penerimaan terhadap agama tauhid yaitu Islam”.
Toleransi (samahah) artinya moderat, egaliter, tidak kaku dalam proses mu’amalah tetapi tetap dalam koridor syariat. Sebagaimana difirmankan Allah surat Shad ayat26, An-Nisa 171, Al-Hadid 27.
Sejarah Pemikiran Maqashid
Di atas telah diterangkan bahwa landasan pemikiran maqashid. Pemikiran ini terus dilanjutkan oleh para sahabat, tabiin dan seterusnya. Di masa sahabat, terdapat banyak sekali pemikiran maqashid yang diaplikasikan dan termanifestasikan dalam realitas kehidupan. Misalnya adalah memerangi ahli riddah di jaman Abu Bakar, pemberlakukan sistem upah di jaman Umar, pengumpulan al-Quran dalam satu mushaf di jaman Ustman. Pada masa tabi’in berlaku sistem tas’ir (pengaturan harga oleh pemerintah) yang dibolehkan oleh Said bin Musayab demi kemaslahatan publik, kendati ada sabda Rasul yang secara spesifik melarang tas’ir.
Islam menjadi pelopor globalisasi dan terus menyebar ke seantero dunia. Tuntutan, kondisi, situasi, semakin berkembang ke arah modernisme dan post modernisme. Islam sebagai landasan dan acuan hukum dituntut untuk mampu mengimbangi bahkan mencarikan solusi terhadap problematika yang makin hari makin memuncak. Jika tidak demikian, Islam akan terkurung dalam ketidak berdayaan.
Untuk itu para ulama terus melakukan riset ke arah menciptakan ilmu khusus berkaitan dengan maqashid. Dalam khazanah Islam tercatatlah nama Imam Syafi’i (w. 204H.), Imam Juwaini (w. 478 H), Imam Al-Ghazali (w. 505), Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H), Saefuddin Al-Amidi (w. 631 H), Al-Izz bin Abdussalam (w. 660 H), At-Thufi (w. 716 H), Ibnu Taimiyah (w. 728 H), Ibnu Qayyim (w. 751 H), Al-Maqri (w. 758 H), dan As-Syatibi (w. 790 H) sebagai para pejuang pemikiran maqashid yang ingin membuka cakrawala Islam agar tetap relevan sepanjang jaman.
Abad kontemporer dewasa ini tercatat pula para ulama yang mengikuti jejak para ulama di atas diantaranya Prof. Dr. Wahbah Zuhaily guru besar Universitas Damaskus Syiria, Prof. DR. Yusuf Qardhawi guru besar Universitas Qatar, Prof. Dr. Said Ramadhan Al-Buthi guru besar Universitas Damaskus, Prof. Dr. Athiyah Shaqar guru besar universitas Al-Azhar dan ketua dewan fatwa Al-Azhar Mesir, dan ulama-ulama lainnya.
Klasifikasi Maqashid
Selanjutnya Imam Syatibi[5] membagi maqashid ke dalam tiga klasifikasi dasar. Pertama; yang sifatnya dharuriyat (primer). Kedua; hajiyat (sekunder) dan ketiga, tahsiniyat (tersier).
1. Maqashid yang sifatnya dhaririyat.
Maqashid yang sifatnya dharuriyat adalah sesuatu yang wajib adanya dan menjadi pokok serta merupakan sendi dari eksistensi kehidupan manusia yang harus ada demi kemaslahatan manusia. Tanpanya, maka kehidupan manusia terganggu, keharmonisan sirna, dan keseimbangan hidup manusia menjadi goyah, timbullah kehancuran, kerusakan, dan kebinasaan.
Unsur-unsur dharuriyat tersebut adalah berkaitan dengan penjagaan terhadap agama (keyakinan), jiwa, akal, keturunan, dan harta. Sebagian ulama menambahkan dengan unsur kehormatan. Ke lima hal tersebut merupakan soko guru keseimbangan dunia. Minus satu saja dari ke lima unsur di atas, maka terjadi ketidakseimbangan kehidupan.
Ke lima hal primer di atas merupakan resume dari hak-hak pokok yang telah mendapat jaminan berdasarkan al-Quran. Penjabarannya seperti diungkapkan Bassiouni (1982: 23) dan Hofmann (1993: 129-130) yaitu:
a. Hak hidup.
b. Keamanan diri.
c. Kemerdekaan.
d. Perlakuan yang sama (non diskriminasi).
e. Kemerdekaan berfikir, berekspresi, keyakinan dan beribadah.
f. Perkawinan.
g. Kemerdekaan hukum.
h. Asas praduga tak bersalah.
i. Nullah paena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang sebelum perbuatan itu).
j. Perlindungan dari kekejaman.
k. Suaka.
l. Kebebasan berserikat dan berkumpul.
m. Berprofesi dan bekerja.
n. Hak memilih, memperoleh dan menentukan hak milik.
Menjaga agama (din) adalah tanggung jawab individu dan kolektif. Sebab misi manusia diciptakan adalah untuk beribadah (Ad-Dzariyat: 56). Demikian halnya dengan misi para rasul yang diutus ke muka bumi, semuanya untuk menyampaikan agama kepada manusia agar ibadah yang dilakukan benar-benar hanya untuk Allah (Al-anbiya: 156). Oleh karena itu, Islam mengharamkan “riddah” (keluar dari keyakinan Islam), dan menjadikan darah orang yang murtad halal untuk dibunuh. Rasul Saw bersabda; “Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan salah satu sebab, ... orang yang keluar dari agamanya (Islam) dan meninggalkan jama’ah (islamiyah)”. (HR. Bukhari: vol. 12/201). Hal ini menunjukkan betapa urgennya beragama (Islam).
Memelihara nafs adalah menjaga lenyapnya nyawa individu atau kolektif. Maka Islam melarang bunuh diri (Q.S. 4:30), dan juga pembunuhan. Dalam Islam pembunuhan terhadap seorang manusia tanpa alasan yang benar bagaikan membunuh manusia seluruhnya. Sebaliknya barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara manusia seluruhnya. (Q.S. 5: 32). Dan orang yang bunuh diri maka ancamannya adalah neraka jahanam. Rasul bersabda; “Barangsiapa yang loncat dari tebing gunung dengan niat hendak bunuh diri, maka ia berada di api jahanam selamanya”. (HR. Bukhari; vol. 10/247).
Sebagai sanksi dari pelanggaran terhadap nafs, Islam mengundangkan hukum qishas dengan diyat bila si keluarga korban memaafkan (Q.S. 2: 179, Al-Furqan: 68). Hal ini sebagai suatu justice-fairness oriented bukan balas dendam. Karena hukum qishas sendiri bertujuan untuk (1) penegasan kembali dari keimanan; (2) penentuan pertanggungjawaban dari pelaku; (3) perbaikan bagi korbannya; (4) perbaikan sosial.
Jadi hukum qishas ada sebagai solusi atas apa yang disebut dalam hukum pidana modern sebagai kejahatan terhadap manusia/crimes againts persons”, sehingga mempu menjaga keutuhan hak asasi manusia, hak jiwa, hak harta, agama dan sebagainya.
Memelihara akal diundangkan al-Quran dengan kewajiban mencari ilmu pengetahuan (Thaha: 114), mengharamkan hal-hal yang bisa mengganggu kenormalan akal (Al-Maidah: 91). Juga menjaga keturunan, maka Allah Swt mengharamkan zina (Al-Isra: 32), menghalalkan nikah (An-Nisa: 3), dan benar-benar menjaga kehormatan wanita dengan diwajibkan menutup aurat, tidak melayani lawan jenis yang bukan mahram, dan bersikap normal dalam berpenampilan. Untuk menjaga harta (mal), Allah Swt melarang harta memberikan harta kepada orang-orang bodoh (An-Nisa: 5), mengharamkan pencurian, pemanfaatan yang tidak proporsional.
Bila terjadi pelanggaran terhadap hal di atas, Islam telah mempersiapkan perangkat hukumnya. Bila kejahatan berkaitan dengan kepentingan publik seperti harta (mal) dengan pencurian, korupsi, dan kejahatan lainnya atau berkaitan dengan keturunan (nasl) seperti berzina, atau yang merusak akal seperti meminum khamr, ekstasi, pil koplo, maka sebagai solusi Islam menerapkan hukum hudud. Yaitu kejahatan yang diancam dengan hukuman hadd (yaitu hukuman yang ditentukan sebagai hak Allah). Dalam definisi ini, ‘hukuman yang ditentukan’ berarti bahwa baik kuantitas, maupun kualitas ditentukan, dan ia tidak mengenal tingkatan.
2. Maqashid yang sifatnya Hajjiyat
Maqashid yang kedua adalah yang bersifat hajiyat (sekunder) yaitu hal-hal yang diperlukan manusia dengan tujuan membuat ringan, lapang, nyaman dalam menanggulangi kesulitan-kesulitan beban yang harus dipikul dalam mengarungi kehidupan. Ia mencakup hal-hal penting bagi ketentuan itu dari berbagai fasilitas untuk penduduk dan memudahkan kerja keras dan beban tanggung jawab mereka. Ketiadaan fasilitas-fasilitas tersebut mungkin tidak menyebabkan kekacauan dan ketidaktertiban, akan tetapi dapat menambah kesulitan-kesulitan bagi masyarakat. Dengan kata lain, keperluan-keperluan ini terdiri dari hal-hal yang menyingkirkan kesulitan-kesulitan dari masyarakat dan membuat hidup mudah bagi mereka.
Dalil kebutuhan hajiyat ini adalah firman Allah Swt dalam surat Al-Baqarah: 286, Al-Hajj: 78, Al-Baqarah: 185. Selain itu sabda Rasul SAW tentang keharusan berdakwah dengan mempermudah tidak mempersulit agama (Bukhari: vol 1, hl. 323).
3. Maqashid yang sifatnya tahsiniyah
Sedangkan maqashid tahsiniyat (tersier/perbaikan-perbaikan) yaitu sesuatu yang diperlukan untuk menjadikan kehidupan lebih indah dan harmoni yang dapat menghiasi kehidupan sosial dan menjadikan manusia mampu berbuat dan urusan-urusan hidup secara lebih baik dari keperluan sekunder (hajiyat). Ketiadaan perbaikan-perbaikan ini tidak membawa kekacauan dan anarki sebagaimana dalam ketiadaan kebutuhan-kebutuhan hidup (dharuriyat); juga tidak mencakup apa-apa yang perlu untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan dan membuat hidup lebih mudah. Perbaikan adalah hal-hal yang apabila tidak dimiliki akan membuat hidup tidak menyenangkan bagi para intelektual. Dalam arti ini perbaikan mencakup kebajikan (virtues), cara-cara yang baik (good manner) dan setiap hal yang melengkapi bagi peningkatan cara hidup.
Dalil dari maqashid ini adalah firman Allah Swt dalam surat Al-Qalam: 4, sabda Rasul Saw; “Bahwasannya aku diutus untuk mereformasi kemaslahatan akhlak” (HR. Ahmad, vol. 2/381), termasuk dalam sabda Rasul ini adalah kemaslahatan dunia dan agama.
Kejahatan terhadap kebutuhan ini diancam dengan hukum ta’zir yang landasan hukumnya didasarkan pada ijama’ (konsensus). Hukuman ta’zir ini berkaitan dengan kerusakan yang menyebabkan kerugian/kerusakan fisik, sosial, politik, finansial, atau moral bagi individu atau masyarakat negara secara keseluruhan. (Sanad, 1991: 63).
Syarat-Syarat dalam memahami maqashid Al-Syariah.
Menurut Al-Syatibi[6] sumber utama ajaran islam adalah al-qur’an, maqashis syari’ah terkandung dalam al-qur’an. Dengan demikian diperlukan persyartan tertentu agar mampu memahami maqashid syari;ah dengan baik, minimal ada tiga :
1. Memiliki pengetahuan bahasa arab
Didasari oleh Surat As-Syura’ ayat 192-194 berikut ini “Dan sesungguhnya al-Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, (QS. 26:192). dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), (QS. 26:193). ke dalam hatimu (Muahammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, (QS. 26:194).
Pemahaman terhadap bahasa arab ini bukan hanya secara tekstual, namun diperlukan pula pengetahuan yang luas terhadap budaya bangsa arab dalam mengunakan bahasa, dalam kehidupan karena, adakalanya bangsa arab mengunakan kata “Am untuk sesuatu yang khusus, termasuk pemahaman yang baik tentang metode Qiro’at yang berkembang dan metode tafsir yang digunakan.
Hal ini diperlukan agar terdapat kehati-hatian dalam memahami dan menginterpretasikan ayat-ayat al-qur’an sehingga tidak keluar dari maqashid syariah yang sebenarnya yang diinginkan Allah dari ayat tersebut.
2. Memiliki pengetahuan tentang sunnah
Diperlukan pula pemahaman yang baik terhadap sunnah [7], karena :
a. Sunnah berfungsi memperkuat hukum yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an. Hukum permasalahan yang ditetapkan oleh al-qur’an memiliki dua sumber, al-quraa’an dan sunnah, al-qur’an bersumber sebagai musbit (penetap hukum), sedangkan sunnah befungsi sebagai uayid (penguat) ketetapan hukum al-qur’an.
b. Memberi bayan terhadap apa yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an secara garis besar dalam al-qur’an seurat anhal berikut ini menegaskan tentang fungsi ini “keterangan-keterangan (mu'jizat) dan kitab-kitab.Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan, (QS. 16:44)
c. Fungsi sunnah sebagai penetap ataupun pencipta hukum yang telah diatur dalam al-qur’an.
3. Mengetahui sebab-sebab turunnya ayat.
Persyaratan selanjutnya adalah mengetahui Asbabul Nuzul ayat tersebut, karena dengan mengetahui sebab-sebab turunnya ayat tersebut maka akan mempermudah mengetahui mengapa, dan dalam kondisi apa ayat tersebut di turunkan, dengan demikian akan mempermudah apa maqashis syariah yang diinginkan Allah dari ayat tersebut baik yang jelas maupun yang tersirat.
Kesimpulan
Pemikiran maqashid akan tetap signifikan hingga akhir jaman. Karena dengan maqashid Islam akan mampu menjawab tantangan dan problematika yang semakin berkembang dalam kuantitas, intensitas dan kualitasnya, yang tentunya tidak sebanding dengan jumlah nash qath’i (al-Quran dan Sunnah).
Disinilah Allah memperlihatkan bahwa islam tersebut agung dan sempurna, dan memotifasi ummatnya untuk terus berkembang dengan selalu mendapat naungan dari-Nya. Karena banyak hal yang bisa dilakukan yang sebelumnya mungkin belum pernah dicontohkan oleh Rasululullah SAW tetapi ternyata hal tersebut bisa dilakukan dengan tidak melanggar syariat yang telah ditetapkan Allah untuk kemaslahatan manusia. Wallahu ‘alam bis shawab.
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Qur,an Terjemahan
2. Bakri, Jaya, Asafri, Konsep maqashid Syari’ah, Menurut Al-Syatibi, Rajawali Pers Jakarta, 1996.
3. Burhanuddin, Nandang, Maqasid Syari’ah, Makalah Ushul Fiqh, PKTTI UI, 2002.
4. Imarah, Muhammd, Imarah, Saripati Hadist Al-Bukhari, Pustaka Al-Kautsar Jakarta. 2002
5. Musbikin, Musbikin, Qawa’id Al-Fiqiyah, Rajawali Pers, Jakarta, 2001.
6. Qaradhawi, Yusuf, Fikih Taysir, Metode Praktis mempelajari Fikih, Pustaka Al-Kautsar Jakarta, 2001.
7. Zahra, Abu, Muhhamad, Ushul Fiqih, Pustaka Firdaus Jakarta,, 2002.
[1] Yusuf Qaradhawi, Fikih Taysir, Metode Praktis mempelajari Fikih, 2001, hal 10 - 11
[2] Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqiyah, 2001, hal 1
[3] Dalam Ushul Fiqih, 2002, hal 544
[4] Dalam Maqasid Syari’ah, Nandang Burhanudin, 2002.
[5] Dalam Maqasid Syari’ah, Nandang Burhanudin, 2002.
[6] Asafri jaya Bakri, Konsep maqashid Syari’ah, Menurut Al-Syatibi, 1996, hal 74
[7] Asafri jaya Bakri, Op Cit, hal 74 - 83