Oleh: Jaharuddin
Pengantar
Pengeluaran investasi merupakan variabel penting dalam pembangunan ekonomi, karena melalui pembangunan ekonomi berdampak pada bergeraknya sektor riil yang berdampak pada terjadinya perluasan lapangan kerja, semakin luasnya lapangan kerja maka akan meningkatkan pendapatan masyarakat, jika pendapatan masyarakat meningkat maka akan berdampak pada semakin tingginya kesejahteraan masyarakat (asumsi cateris paribus), jika masyarakat pendapatannya tinggi maka akan mendorong semakin tingginya konsumsi masyarakat yang berakhir pada semakin meningkatnya permintaan, yang kembali akan memberi peluang yang menjanjikan kepada investor untuk menginvestasikan modalnya di Indonesia.
Jika lingkaran ini terjadi maka sektor riil akan bergerak, perekonomian akan berjalan dengan penuh gairah sehingga kesejahteraan masyarakat meningkat, peluang investasi besar dan menjanjikan, penganguran bisa di tekan pada level rendah, dan seterusnya.
Namun kenyataanya adalah belum tentu mekanisme pasar seperti ini berlaku dengan baik, bahkan pasar hari ini malah menunjukkan pergerakan yang lambat, ada variable lain yang ternyata berpengaruh, apakah ini disebabkan oleh faktor suku bunga atau faktor lainnya.
Pada tulisan ini akan dibahas peranan suku bunga dalam pengeluaran investasi, apakah berpengaruh atau malah sebenarnya merugikan atau kontra produktif terhadap mekanisme pasar, apalagi ditinjau dari sisi hukum syariah. Dengan demikian untuk membatasi tulisan ini, perlu pembatasan masalah dan memperkuat terlebih dahulu pengertian suku bunga , pengertian investasi dalam konteks ekonomi konvensional, setelah itu baru dilihat dari sudut pandang hukum syariah.
Pengertian Suku Bunga
David Ricardo berpendapat bunga adalah jika memang banyak yang dapat dilakukan dengan mengunakannya, banyak pula yang diberikan dengan mengunakannya[1]. Dari pendapat David ricardo ini terlihat dengan jelas bahwa Ricardo memperbolehkan adanya bunga, dengan pengandaian jika dengan bunga banyak yang dapat dilakukan maka , dengan mengunakan bunga ini pula akan banyak hal yang akan dihasilkan dari pengunaan bunga tersebut.
Sedangkan Keyness dengan aliran klasiknya mengecam bunga ini dengan pendekatan teori produktivitas. Dia menyatakan bahwa bunga yang dibayarkan karena adanya produktivitas modal [2]. Dari pendapat Keyness ini dapat dilihat bahwa pada dasarnya Keyness membenarkan adanya bunga namun persyaratannya adalah jika bunga tersebut timbul dari produktivitas modal, dengan demikian sebaliknya jika modal tersebut tidak produktive maka tidak layak adanya bunga terhadap modal tersebut.
Sedangkan Bohm Bawaer mengangap bahwa bunga itu timbul karena orang lebih menyukai barang di masa datang, dan menganggap bunga adalah diskonto yang harus dibayarkan. Bunga ditentukan oleh penyediaan dan permintaan akan dana yang dipinjam [3]. Disini terlihat bunga tersebut timbul karena adanya perilaku orang yang menyukai barang dimasa yang akan datang, dengan demikian bunga diangap sebagai biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan barang dimasa yang akan datang, disini kita dapatkan melihat Boowner yang mengangap wajar sekali adanya bunga.
Islam berbicara Bunga
Sebelum jauh membahas tentang bunga dalam investasi maka perlu dikaji telebih dahulu apakah bunga tersebut termasuk riba atau tidak, karena ini akan sangat mempengaruhi pemaparan tulisan ini, maka akan diulas sebagai berikut :
Al-qur’an, dengan jelas mengulas tentang riba sebagai berikut :
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba[4] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[5]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[6] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya[7]”.
Riba berasal dari kata Rabiyah dan Rabwah yang artinya Bukit atau tanah tinggi. Riba secara teknis berarti mengambil tambahan dari modal pokok tanpa ada imbalan penganti yang dapat dibenarkan oleh Syariah Islam[8]. Dengan demikian maka jelas bahwa islam melarang riba dengan berbagai konsekuensinya. Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah bunga sama dengan riba, untuk menjawab pertanyaan ini maka ada beberapa pendapat sebagai berikut :
Afif Abdul Fattah Thabbarah[9] berpendapat bahwa memungut rente (bunga) adalah haram hukumnya, karena islam telah menetapkan bahwa pemilik modal dan orang yang mengusahakannya harus bersepakat dalam untung dan rugi. Sedangkan penetapan bunga tidak demikian.
Dr. Muhammad Hatta berpendapat bahwa bunga yang dibayarkan perusahaan atau peminjam yang sifatnya produktif tidak dilarang, dan yang dilarang adalah yang bersifat konsumtif[10]. Dengan demikian Hatta selaras dengan Keyness, yang melihat dilarang atau tidaknya tergantung dari produktivitas uang tersebut, jika dijadikan modal untuk hal yang sifatnya produktif maka tidak dilarang, sebaliknya jika digunakan untuk hal yang tidak produktif semisal konsumtif maka bunga tersebut dilarang.
Untuk memperjelas posisi riba yang sebenarnya maka beberapa ulama mengemukakan macam-macam riba sebagai berikut [11] :
Riba Fadli, ialah menukarkan dua barang yang sejenis tetapi tidak seimbang atau tidak sama.
Riba Qardli, ialah meminjam dengan syarat memberikan keuntungan bagi yang meminjamkannya.
Riba Jad, ialah berpisah dari tempat terjadinya aqad sebelum pengalihan hak milik dilaksanakan.
Riba Nasa’, ialah penukaran yang diisaratkan terlambat dari salah satu barang.
Keempat macam riba diatas dilarang, dalam perwujudannya karena dapat menimbulkan kerugian salah satu pihak, bahkan mungkin dapat menyengsarakan pihak lain.
Dengan demikian, apakah bunga tersebut sama dengan riba, maka para ulama berpendapat sebagai berikut [12]:
Dengan tegas mengharamkan bunga bank, mereka mengangap bahwa bunga yang diberlakukan oleh bank adalah riba, karena Allah melarang riba walaupun sedikit untuk menutupi pintu kejahatan. Menurut pendapat ini penitipan sesuatu oleh bank (sepihak) tidak sesuai dengan kesepakatan atau azas persekutuan jual beli (untung dan rugi ditangung bersama).
Menghalalkan bunga bank, mereka mengangap bahwa bunga bank itu halal hukumnya, karena bank tersebut bersifat produktif dan pada masa ini tidak ada jalan yang harus ditempuh untuk dapat hidup seperti ummat lain. Maka keadaanya sudah darurat. Oleh karena itu darurat pula hukumnya mengikuti sistem berniaga melalui saluran bank. Salah seorang pengikut ini adalah Prof.DR. Muh. Abdullah Al-arabi.
Bersifat produktif halal dan sebaliknya. Pendapat ketiga ini melihat produktif atau konsumtifnya pelaksanaan muamalah tersebut. Apabila produktif maka diangap halal, sebaliknya apabila konsumtif haram hukumnya atau riba.
Dari ketiga Main stream pendapat para ulama dan cendikiawan tentang apakah bunga tersebut riba atau tidak, maka penulis lebih cendrung sependapat dengan Main stream yang pertama dengan alasan, karena tidaklah tepat apabila dikatakan bahwa pada saat yang sudah modern ini dan terdapat pilihan investasi non bunga dikatakan pada saat ini masih dalam kondisi darurat, dan rasanya terlalu dipermudah untuk mengatakan kondisi hari ini masih tidak ada alternatif non bunga yang bisa dilakukan sehingga diambil Rukhsah terhadap bunga bank yang ada. Alasan lainnya adalah kalau suatu pinjaman tersebut dilihat dari sisi apakah produktif atau konsumtif, maka ini sulit untuk diukur, karena sejarah telah membuktikan bahwa banyak sekali data yang memberi kesimpulan ternyata dengan sistem bunga ini maka modal akan bertambah berlipat-lipat dan yang sengsara adalah si peminjam. Sebagai studi kasus adalah utang Indonesia, yang sampai hari ini tidak mampu membayar pokok pinjaman yang dulu pernah dipinjam pihak pemerintah maupun swasta, dengan demikian bisa diprediksi kapan bangsa ini akan mampu membayar hutangnya jika ternyata yang dibayar setiap tahunnya hanya sebagian kecil dari bunganya saja.
Dengan demikian bunga dalam penulisan tulisan ini adalah riba yang diharamkan dalam islam, karena banyak mudharat yang akan ditimbulkannya.
Pengertian Investasi
Investasi dapat diartikan sebagai pengeluaran atau perbelanjaan penanam modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal dan perlengkapan-perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian [13]. Dalam konteks makro maka pengeluaran dan perbelanjaan pemerintah untuk membeli atau membiayai alat-alat produksi untuk meningkatkan nilai tambah maupun besarnya kuantitas produksi baik barang maupun jasa.
Pengertian Hukum Syariah
Pengertian hukum dalam hukum positif, sebagaimana disebutkan Drs. E. Utrecht, SH[14] , ialah : “Himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu”. Sedangkan pengertian hukum menurut ahli ushul fiqh adalah Khithab (titah) Allah Ta’ala tentang perbuatan mukallaf (subyek hukum), baik menuntut atau memperbolehkan a-tau menjadikan sesuatu[15].
Sedangkan Syariat tersebut menurut beberapa pendapat seperti Ibnu Abbas r.a mengatakan maksud Syariah ialah petunjuk yang jelas. Qatadah mengatakan meksudnya ialah ketentuan-ketentuan, batasan-batasan, perintah dan larangan. Ibnu Zaid, mengatakan maksudnya ialah din[16] . Sedangkan Fakhrurrozi, menjelaskan bahwa syariat adalah hal-hal yang ditetapkan Allah SWT atas para mukallaf (orang yang dibebani melaksanakan hukum Allah Ta’ala) supaya mereka laksanakan (patuhi)[17].
Sedangkan At Thahanawi mengemukakan defenisi Syariat ialah hukum-hukum yang disyari’atkan Allah Ta’ala untuk hamba-hamba-Nya, yang disampaikan oleh salah seorang nabi dari nabi-nabi, (semoga Allah Ta’ala mencurahkan rahmat dan kesejahteraan kepada mereka, begitu pula kepada Nabi kita Muhammad SAW), baik hukum-hukum tersebut tentang amal perbuatan………maupun akidah[18].
Dengan demikian maka untuk membatasi penulisan maka definisi hukum syariat dalam penulisan ini adalah Titah Allah Ta’ala tentang perbuatan mukallaf, baik menuntut atau memperbolehkan a-tau menjadikan sesuatu yang telah ditetapkan Allah SAW supaya dilaksanakan.
Peranan Suku Bunga dalam Pengeluaran Investasi dalam Ekonomi Konvensional
Investasi tergantung dari tingkat bunga; jika tingkat bunga riil naik maka akan menaikkan Cost of Capital (CoC) sehingga menurunkan investasi (hubungan antara investasi dan tingkat bunga riil terbalik) [19]. Dengan demikian semakin tinggi tingkat bunga riil maka akan menyebabkan semakin rendahnya investasi, dan sebaliknya, karena dalam logika investasi jika suku bunga tinggi maka biaya dari mendapatkan modal (Cost of Capital) tersebut akan semakin tinggi, hal ini akan berakibat semakin besarnya beban modal yang akan di tangung pihak investor, didalam mengelola dan mengembalikan modal tersebut dimasa yang akan datang.
Jika Cost of Capital (CoC) tinggi maka akan berakibat kepada beberapa alternatif yang bisa dilakukan pihak investor dalam mengelola dana tersebut, seperti (1). Akan meningkatkan harga produk, hal ini tidak mudah untuk dilakukan karena jika harga output naik, maka hukum permintaan akan berlaku berdampak pada penurunan permintaan terhadap barang tersebut, karena pendapatan masyarakat tetap, hal ini akan berakibat pada lesunya perekonomian. (2). Karena besarnya Cost of Capital (CoC) dapat berkibat terjadinya rasionalisasi pemakaian tenaga kerja (PHK), ini berakibat lebih luas lagi akan terjadinya penambahan penganguran, nah jika hampir semua perusahaan mempunyai modal dari pinjaman dengan sistem bunga dan kondisi bunga riil naik, maka akan berakibat pada penganguran masal. Ini semua akan berdampak pada kelesuan bahkan hancurnya perekonomian, karena jika ini terjadi maka akan ada dampak rembesan lainnya (Multiplier effect) yang bisa berakibat lebih parah lagi.
Dengan demikian dapat dilihat dalam ekonomi Konvensional peranan suku bunga sangat mempengaruhi perkembangan maju atau mundurnya perkonomian suatu negara. Jika suku bunga riil, mengalami kenaikan maka akan berdampak melambatnya pergerakan sektor riil, yang berdampak luas dan langsung ataupun tidak langsung akan berpengaruh pada sektor moneter.
Ketika sektor riil tidak mampu bergerak maksimal dan sektor moneter tergangu maka yang terjadi adalah resesi. Demikian strategisnya faktor suku bunga menentukan pergerakan investasi dalam ekonomi Konvensional.
Peranan Suku Bunga dalam Pengeluaran Investasi dalam hukum Syariat
Dengan demikian maka kita tidak dapat melihat peranan suku bunga dalam pengeluarn Investasi menurut hukum syariat, karena dari uraian diatas telah jelas terdeskripsikan bahwa, suku bunga tersebut merupakan salah satu bentuk riba, dengan demikian penulis berpendapata bahwa islam tidak membenarkan riba, walaupun itu untuk investasi. Untuk melihat bagaimana pengeluaran Investasi yang non Ribawi dalam hukum syariat, maka pembahasan ini akan mengesampingkan aspek riba dengan segala macam kelemahan baik secara teoritis maupun empiris yang sekarang kita rasakan.
Maka cendikiawan muslim perlu merekontruksi teori investasi dengan menghilangkan variable bunga dalam analisisnya.
Beberapa langkah alternatif
Dalam perkembangan investasi mutakhir kita mengetahui bahwa terdapat alternatif, sumber investasi non ribawi di dunia perbankan kontemporer, bahkan ini sedang berkembang pesat seperti bagi hasil, obligasi syariah, sukuk, dan lain sebagainya.
Disamping itu kita perlu merekontruksi teori Investasi minus bunga, dengan optimalisasi peran teknologi, dan peningkatan nilai tambah. dan sangat di yakini, sesungguhnya faktor bunga menjadi beban dalam investasi, artinya dengan dihilangkan faktor bunga dalam investasi akan mendorong peningkatan produktivitas modal yang ada, dalam bentuk investasi riil yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
Kesimpulan
1. Dalam Hukum syariat maka terdapat tiga pendapat tentang apakah bunga untuk investasi termasuk riba atau tidak, yaitu : jelas-jelas tidak termasuk, termsuk, dan yang ketiga adalah jika untuk investasi maka tidak termasuk riba. Penulis berkeyakinan bahwa bunga untuk investasi tetap dikategorikan riba yang telah jelas hukumnya dalam syariat.
2. Dengan demikian maka dalam hukum syariat tidak terdapat variable bunga dalam teori investasi, dengan demikian perlu direkontruksi teori investasi yang sekarang ada.
3. Variabel lain yang masih berlaku dalam ekonomi syariah adalah pengaruh positif teknologi, value added………
Daftar Pustaka
Al-Qur’an nul Karim, Depag….
Djaslim Saladin, H, SE, Konsep Dasar Ekonomi dan Lembaga Keuangan Islam, Linda Karya Bandung, 2000
Muhammad Anwar Ibrahim, Dr. Teori Akad, Menurut Fiqh Islam, Bahan mata Kuliah Fiqh Muamalah PSKTTI UI, 2003
Sadono Sukirno, Pengantar Teori Makroekonomi, edisi kedua, Raja Grafindo Persada, Jakarta 1994
Tedy Herlambang, dkk, Ekonomi Makro Teori, Analisis, dan Kebijakan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001
[1] Djasmin saladin, hal 47
[2] Djasmin saladin,Op cit, hal 47
[3] Djasmin saladin ,Op Cit, hal 47
[4] Riba itu ada dua macam: Nasiah dan Fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.(penjelasan terjemah; penulis)
[5] Maksudnya: orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.(Penjelasan terjemah; penulis)
[6] Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.(Penjelasan terjemah; penulis)
[7] Surat Al-Baqarah ayat 275
[8] Djasmin Saladin, Op Cit, hal 48
[9] Djasmin saladin ,Op Cit, hal 49
[10] Djasmin saladin ,Op Cit, hal 49
[11] Djasmin saladin ,Op Cit hal 49
[12] Djasmin saladin ,Op Cit hal 49 - 50
[13] Sadono Sukirno, hal 107
[14] sebagaimana dikutip oleh Dr. Anwar Ibrahim dalam Teori Akad (Bahan Mt. Kuliah Fiqh Muamalah PSKTTI UI) hal 23.
[15] Dikutib dari Al-Baidhawi, Minhajul al-Ushuli fi ‘ilmi al-Ushuli dan Al-Badakhsyi, (Kairo:Shubeih), hal 30 dalam Dr. Anwar Ibrahim, Op Cit, hal 23
[16] Dr. Anwar Ibrahim, Op Cit, hal 13
[17] Dikutib dari Fakhrurrazi, Tafsir Al-Kabir, (Teheran:dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah), cet. Ke II, XII, hal 12, dalam Dr. Anwar Ibrahim, Op Cit, hal 13
[18] Dr. Anwar Ibrahim, Op Cit, hal 14.
[19] Tedy Herlambang, dkk, , hal 237
Oleh : Jaharuddin
Latar Belakang
Diriwayatkan dari Said bin Al-Musayyab, bahwa Umar Bin Khattab bertemu dengan Hathib bin Abi Bal’ta’ah yang sedang menjual zabib di pasar, Umar Bin Khattab mengatakan kepadanya : “Naikkan harga Zabib anda atau anda pergi dari pasar kami”[1].
Dalam riwayat ini terlihat bahwa Amirul Mukminin pada masa tersebut sangat berperan dalam perekonomian masyarakat, khalifah langsung turun mengontrol perkembangan harga ditengah-tengah masyarakat, namun dari riwayat hadist tersebut muncul semacam dilematis karena pada hakekatnya ketika seseorang pedagang menurunkan harga maka yang mendapat keuntungan adalah konsumen disisi lain ketika pihak produsen menaikkan harga maka yang menjerit adalah konsumen yaitu rakyat, ini memang kondisi yang tidak mudah apakah menurunkan harga atau menaikkan harga.
Ditinjau dari sudut pandang konsumen maka yang dikehendaki konsumen adalah turunnya harga , karena dalam teori ekonomi konvensional, akan berdampak kepada naiknya nilai riil dari pendapatan masyarakat dan sebaliknya jika harga naik maka konsumen akan menjerit karena nilai riil pendapatan masyarakat akan turun [2].
Dari riwayat diatas dan ditinjau dari sudut ekonomi konvensional, seolah-olah Amirul mukminin pada masa itu Umar bin Khattab keberpihakannya kepada pedagang atau orang kaya atau dalam konsep kapitalis pemilik modal.
Pada tulisan ini penulis akan mencoba memaparkan bagaimana sebenarnya keberpihakan dalam islam yang ditinjau dari sudut pandang mekanisme pasar pada ekonomi konvensional dan ekonomi islam.
Riwayat Hidup Umar Bin Khatab
Dia bernama Umar bin Khattab bin Nuafial bin Abdul ‘Uzza bin Rabah bin Qurth bin Razah bin Ady bin Ka’ab bin Luay. Amirul Mukminin, Abu Hafash al-Qurasyi, al-Adawi, Al-Faruq. Dia masuk islam pada tahun keenam kenabian. Saat itu berusia 27 tahun, sebagaimana ditulis oleh Imam Adz-Dzahabi.
Imam an-Nawawi berkata: Umar lahir pada tahun ketiga belas setelah peristiwa Tahun gajah. Dia termasuk orang yang paling mulia dikalangan suku Quraisy. Masalah-masalah yang menyangkut diplomasi pada zaman jahiliyah diserahkan kepada Umar. Jika diantara kabilah terjadi peperangan, maka umar akan diutus sebagai penengah.
Dia masuk islam tatkala jumlah sahabat yang memeluk islam berjumlah sekitar empat puluh orang laki-laki dan sebelas wanita atau, sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain, yaitu tiga puluh lima laki-laki dan dua puluh tiga wanita. Sebagaimana juga disebutkan dalam sebuah riwayat jumlahnya ada empat puluh lima laki-laki dan sebelas orang perempuan. Tatkala dia menyatakan keislamannya, islam semakin kokoh dikota Mekkah dan kaum muslimin bersuka cita dengan keislamannya.
Imam Nawawi berkata: Dia termasuk pendahulu dari orang-orang yang masuk islam, dan sepuluh orang yang dijanjikan Rasulullah untuk masuk syurga. Dia salah seorang Khulafa’ Rasyidin dan sekaligus salah seorang mertua Rasulullah. Umar juga merupakan sahabat terkemuka dan salah seorang yang paling zuhud terhadap dunia.
Diriwayatkan darinya sebanyak lima ratus tiga puluh sembilan hadist. Beberapa orang yang meriwayatkan hadist darinya ialah Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Abi Ubaidillah, Sa’ad bin Abi Waqqas, Abdurahman bin Auf, Ibnu Mas’ud, Abu Dzar, Amr bin Abasah dan anaknya Abdullah, Ibnu Abbas, Abdullah bin Zubair, Anas bin Malik, Abu Hurairah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asyari, al-Bara’ bin azib, Abu Said al-Khudri dan masih banyak lagi yang lainnya dari kalangan sahabat.[3]
Riwayat Hidup Hatib bin Abi Bal ta’ah.
Tidak terdapat banyak sejarah yang tertulis tentang Hatib bin Abi Balta’ah , namun yang jelas Hatib bin Abi Balta’ah ini pernah bersama Rasulullah ikut berperang di Perang Badar. Namun Ketika persiapan perang ke Kota Mekkah yang sangat rahasia bahkan Aisyah sang istri tercintapun tidak mengetahuinya, dengan strategi yang begitu rahasia Rasulullah mengirim sekelompok tentara untuk mengelabui arah perang dengan mengirim sekelompok pasukan ke suatu daerah antara Dzu Khasyab da Dzul marwah.
Sementara itu Hatib bin Abi Balta’ah menulis surat yang hendak dikirimkan kepada Quraisy, yang isinya mengabarkan keberangkatan Rasulullah SAW kesana. Surat ini diberikan kepada seorang wanita dan dia juga memberinya sejumlah upah agar surat tersebut disampaikan kepada Quraisy. Setelah surat disembunyikan di gulungan rambutnya, wanita itupun berangkat.
Pada saat yang sama Rasulullah SAW mendapat khabar dari langit tentang apa yang dilakukan Hatib Bin Abu Balta’ah. Beliau langsung mengutus Ali dan Al-Miqdad seraya bersabda “Segeralah pergi hingga kalian tiba di Raudhah Khakh. Disana ada seorang wanita yang membawa selembar surat yang ditujukan kepada Quraisy”.
Maka keduanya berangkat dan memacu kudanya kencang-kencang, hingga mereka dapat menyusul wanita itu ditempat tersebut, Mereka memintanya untuk berhenti sambil berkata “Engkau sedang membawa sepucuk surat”.
“Aku tidak membawa sepucuk surat pun” jawab wanita itu. Mereka berdua memeriksa hewan tungangannya, namun tidak menemukan apa yang dicari, Ali Berkata “Aku bersumpah demi Allah, Rasulullah SAW tak bohong, begitu pula kami. Demi Allah engkau mengeluarkan surat itu ataukah kami benar-benar akan menelanjangimu”.
Setelah tahu kesunguhan Ali, wanita itu berkata “Kalau begitu berpalinglah dariku!”. Mereka berdua memalingkan pandangan, lalu wanita itu melepaskan gulungan rambutnya dan mengeluarkan sepucuk surat, kemudian menyerahkannya kepada mereka berdua. Surat itu diserahkan kepada Rasulullah SAW yang didalamnya tertulis. “Dari Hatib Bin Abi Balta’ah, kepada Quraisy…..” kelanjutan isinya mengabarkan niat keberangkatan Rasulullah SAW.
Apa ini wahai Hatib?, Tanya beliau setelah memangilnya.
Jangan terburu menuduhku wahai Rasulullah. Demi Allah aku adalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak murtad dan tidak merubah agamaku. Dulu aku adalah seorang anak angkat di tengah Quraisy. Aku bukanlah apa-apa bagi mereka. Disana aku mempunyai keluarga, kerabat dan anak, sementara itu, tidak ada kerabatku yang bisa melindungi mereka. Padahal orang yang bersama engkau mempunyai kerabat yang bisa melindungi mereka. Karena itu aku ingin ada kerabat yang bisa melindungi keluargaku disana”.
Umar Bin Khattab berkata “Wahai Rasulullah, biarkan aku memenggal lehernya, karena dia telah menghianati Allah dan Rasul-Nya serta bersikap munafik”. Rasulullah SAW menjawab “Sesungguhnya ia pernah ikut dalam perang Badar. Lalu bagaimana engkau bisa mengetahui hal itu wahai Umar? Boleh jadi Allah telah mengetahui isi hati orang-orang yang ikut dalam perang badar” lalu beliau bersabda lagi “berbuatlah sesuka kalian, karena kesalahan kalian sudah kuampuni”.
Kedua mata Umar meneteskan butir-butir air mata, seraya berkata, “Allah dan Rasulnya lebih mengetahui.”[4]
Teori Mekanisme Pasar Konvensional
Mekanisme pasar (market mechanism) adalah kecendrungan dipasar bebas sehingga terjadi perubahan harga sampai pasar menjadi seimbang (yakni sampai jumlah penawaran dan permintaan sama). Pada titik ini tidak ada kekurangan ataupun kelebihan penawaran, juga tidak ada tekanan terhadap harga untuk berubah lagi. Penawaran dan permintaan tidak selalu berada dalam ekuibilirium dan beberapa pasar mungkin tidak akan mencapai ekuibilirium dengan cepat apabila kondisi tiba-tiba berubah, namun kecendrungannya adalah tetap, bahwa pasar biasanya mengarah ke ekuibilirium.[5]
Dari pengertian singkat diatas dapat dilihat bahwa dalam ekonomi konvensional, keseimbangan akan terjadi dengan sendirinya, yang dalam konsep Adam Smith disebut Imposible Hand ada sesuatu kekuatan yang tidak terlihat yang mempengaruhi harga tersebut yang pada akhirnya ketika terjadi distorsipun maka suatu ketika tetap akan mecapai titik kesimbangan yang baru, mungkin saja titik keseimbangan tersebut diatas atau dibawah atau bahkan sama pada titik sebelumnya.
Inilah temuan Adam Smith ratusan tahun yang lalu, yang sebenarnya dalam konsep ekonomi islam telah dinyatakan oleh nabi Muhammad SAW bahwa Allahlah yang menetapkan harga. Sebenarnya Adam Smith telah menangkap sinyal tersebut, namun dia belum mampu menemukan bahwasanya Allahlah dibelakang itu semua.
Teori Mekanisme Pasar Islami
Dalam ekonomi islam, hal-hal yang tetap dalam harga yang sama ditentukan oleh operasi bebas kekuatan pasar. Nabi Muhammad SAW, tidak menganjurkan campur tangan apapun dalam proses penentuan harga oleh negara atau individual. Di samping menolak untuk mengambil aksi langsung apapun, beliau melarang praktek bisnis yang dapat membawa kepada kekurangan pasar. Sebagai akibatnya, penahanan stock, spekulasi, kolusi oligarki, pembatalan informasi penting tentang produk, dan penjualan dengan sumpah palsu dilarang oleh Nabi Muhammad SAW. Menghapuskan pengaruh kekuatan ekonomi atas mekanisme harga. Secara simultan, beliau mengabaikan eksploitasi ketidaktahuan oleh orang-orang yang diberitahu. Dalam masyarakat kontemporer, petunjuk-petunjuk ini dapat menjadi dasar bagi sebuah sistem tingkah laku berkerelaan untuk komunitas bisnis. Disamping hubungan-hubungan hukum, juga terdapat sejumlah prinsip moral. Komunitas bisnis telah diberi petunjuk agar jujur, terpecaya dan berhati luhur dalam urusan bisnis. Daripada saling menghancurkan, mereka lebih baik mengembangkan sebuah sistem sosial yang saling menolong dan kerjasama.[6]
Sistem sosial yang dirancang dalam islam tersebut yang mungkin bisa dikatakan sebagai mekanisme pasar tersebut merupakan kerangka kerja islam yang bertujuan untuk memastikan perputaran suplai dan permintaan yang bebas dengan mengatur sikap individual dalam sebuah kerangka kerja hukum etika.
Kalau kita cermati lebih jauh maka terdapat perbedaan antara ketentuan yang dinginkan Rasulullah tidak campur tangan sedikitpun dipasar dengan tindakan yang dilakukan oleh Umar Bin Khattab dalam kasus diatas, sesuai dengan hadist beliau berikut ini :
Diriwayatkan dari Anas bahwa ia mengatakan: Harga pernah mendadak naik pada masa Rasulullah SAW. Para sahabat mengatakan: Wahai Rasulullah! Tentukanlah harga untuk kita! Beliau menjawab: “Allah itu sesungguhnya adalah penentu harga, penahan dan pencurah serta pemberi rezeki. Aku mengharapkan dapat menemui Tuhanku dimana salah seorang dari kalian tidak menuntutku karena kezaliman dalam hal darah dan harta”[7].
Dalam konsep ekonomi islam penentuan harga dilakukan oleh kekuatan pasar yaitu kekuatan permintaan dan penawaran. Pertemuan permintaan dengan penawaran tersebut haruslah terjadi secara suka rela sama rela, tidak ada pihak yang merasa terpaksa untuk melakukan transaksi pada tingkat harga. Monopoli, duopoly, oligopoly dalam artian hanya ada satu penjual, dua penjual atau beberapa penjual tidak dilarang keberadaanya, selama mereka tidak mengambil keuntungan di atas keuntungan normal.[8]
Distorsi Pasar
Mekanisme pasar yang terjadi yang sebenarnya Allah berperan dalam memberikan keseimbangan tersebut, tidak selamanya terjadi dengan baik, karena dalam konsep ekonomi terdapat beberapa distorsi dalam pelaksanaanya, secara umum terdapat tiga bentuk distorsi dalam ekonomi islam yaitu: Distorsi penawaran dan distorsi permintaan, Tadlis (Penipuan) dan Taghrir (Kerancuan).[9]
Pembahasan
Dalam pembahasan ini ada beberapa pertanyaan yang akan dijawab oleh penulis, yaitu apa sebenarnya latar belakang teguran/pengusiran Hathib bin Abi Balta’ah ketika menjual zabib dibawah harga pasar?, apakah atsar ini bertentangan dengan hadist Rasulullah ?.
Latar Belakang Teguran.
Sepintas dapat kita lihat bahwa latar belakang dari teguran tersebut terlihat bahwa Hatib bin Abi Balta’ah menurunkan harga, sehingga hukum permintaan berlaku disini. Sehingga konsumen banyak yang lari ke Hatib, dan dalam konteks ini maka hal ini dapat menyebabkan distorsi pasar, karena jika ini dibiarkan maka pedagang lain juga akan menurunkan harga sedemikian rupa sehingga konsumenpun mau membeli zabib mereka.
Melihat gelagat yang tidak baik ini maka Amirul Mukminin Umar bin Khattab langsung menegur keras deengan dua opsi, turunkan harga atau pergi dari pasar tersebut.
Dalam konteks ini terlihat bahwa Umar bin Khattab distorsi pasar ini akan berimplikasi jauh terhadap perjalanan pasar sehingga beliau dengan mengedepankan Mashalih Mursalah (Kemaslahatan yang lebih banyak) maka Umar Bin Khattab mengambil kebijakan menegur Hatib bin Abi Batla’ah.
Apakah atsar tersebut bertentangan dengan hadist Rasulullah.
Jelas sekali bahwanya atsar tersebut tidak bertentangan dengan hadist Rasulullah SAW, karena yang dilakukan Amirul mukmini Umar bin Khattab justru adalah dalam rangka menstabilkan harga di pasar. Dengan demikian maka terlihat bahwa kemaslahatan umat menjadi prioritas utama beliau.
Tentang angapan seolah-olah Amirul mukminin berpihak kepada pedagang (Kapitalis), maka sebenarnya ini tidak benar dengan bukti adilnya Amirul Mukminin Umar bin Khattab walaupun kepada orang yahudi sekalipun seperti riwayat berikut ini :
Abu Ubaidah, Ibnu Asakir dan Al-Baihaqy mentakhrij dari Suwaid bin Ghaflah ra, dia berkata, “Ketika Umar bin Al-Khattab mengadakan kunjungan ke Syam, ada seorang laki-laki dari ahlil kitab (orang yahudi) yang melapor, seraya berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, ada orang mukminin yang telah memukuliku”.
Umar sangat marah setelah mendengar pengaduan orang Yahudi tersebut, lalu dia memerintahkan Shuhaib untuk mencari dan menyelidiki orang tersebut. Suhaib melakukan penyelidikan, dan ternyata pelakunya adalah Auf bin malik Al-Asyja’y. Dia berkata, “Amirul mukminin marah besar atas tindakanmu. Maka lebih baik temuilah Mu’adz bin Jabal, agar dia membujuk Amirul Mukminin. Aku Khawatir dia akan terburu-buru dalam menjatuhkan hukuman kepadamu.”.
Seusai shalat, Umar bertanya, “Mana Shuaib?” Apakah dia sudah membawa pelakunya?”. Sementara Auf bin Malik sudah menemui Muadz bin Jabal dan menceritakan kejadiannya. Maka Muadz berdiri seraya berkata, “Wahai Amirul Mukminin, pelakunya adalah Auf bin malik. Maka dengarkanlah penjelasan darinya dan janganlah engkau terburu-buru menjatuhkan hukuman kepadanya.”
Apa urusanmu tentang masalah ini ? Tanya umar kepada Muadz. Muadz menjawab Wahai Amirul mukminin, masalah ini berkaitan dengan seorang wanita muslimah yang sedang menuggang himarnya. Orang yahudi itu menyodok himar agar wanita itu jatuh, lalu orang yahudi tersebut hendak menindih atau memperkosanya.
Datangkan kesini wanita itu, untuk membuktikan kebenaran keteranganmu ini kata Umar. Auf bin Malik mendatangi rumah wanita itu, namun dia disambut ayah dan suaminya, kami tidak ingin mengusiknya karena nama kami sudah ternoda gara-gara dia. Tapi wanita itu tiba-tiba muncul dan berkata “Demi Allah, aku benar-benar akan pergi dengannya”.
Kalau begitu kami saja yang akan pergi menemui Umar bin Khattab dan melaporkan kejadian yang sebenarnya, seperti yang dikatakan Auf bin Malik. Orang yahudi itu dipanggil lalu Umar menjatuhkan hukuman salib, seraya berkata “Kami berdamai dengan mu bukan untuk tujuan seperti ini”. Kemudian dia berdiri dan berpidato “Wahai semua manusia, bertakwalah kepada Allah dalam menangani orang-orang yang telah dijamin Muhammad. Namun siapa yang berbuat seperti yang diperbuat Yahudi ini, maka gugurlah jaminanya”.
Suwaid berkata “Menurut sepengetahuanku, Orang Yahudi tersebut adalah orang pertama yang disalib dalam islam”.
Malik mentahrij dari Said bin Al-Musayyab, bahwa ada orang muslim dan orang yahudi yang bertengkar, lalu keduanya mengadu kepada Umar bin Al-Khattab. Setelah memeriksa masalahnya, Umar berpendapat bahwa yang lebih berhak atas kasus di antara mereka berdua adalah orang yahudi.
Demi Allah, engkau telah mengadili dengan adil, kata orang yahudi. Karena kurang suka dipuji, Umar justru memukul orang yahudi itu dengan cambuk, seraya bertanya “Mengapa begitu?”.
Demi Allah, kami mendapatkan dalam taurat disebutkan: Tidak ada hakim yang mengadili secara adil, melainkan dikanan kirinya ada malaikat yang membantunya dan memberikan taufik, selagi dia berada pada kebenaran. Namun jika hakim itu meninggalkan kebenaran, maka dua malaikat itupun meninggalkanya”[10]
Dengan bukti-bukti tersebut, maka gugurlah hypothesis bahwa Umar bin Khattab tidak adil dan lebih berpihak kepada para pedagang (Kapitalis), karena dengan orang yahudi sendiripun ternyata keadilannya diakui apalagi terhadap umat mukmin yang menjadi perhatiannya selama masa beliau menjadi Amirul Mukminin. Lagi pula terlalu cepat kalau kita membuat suatu pernyataaan bahwasanya ketika Umar bin Khattab menegur satu orang pedagang dengan harapan pedagang lainya tidak rugi, maka dengan serta merta diambil kesimpulan bahwa beliau berpihak kepada pemilik pedagang yang belum tentu yang memiliki modal (Kapitalis) dan yang pasti merekapun kaum mukminin.
Kesimpulan
1. Tidak terdapat pertentangan antara teguran Umar Bin Khattab dengan hadist Rasulullah, yang telah dibuktikan diatas.
2. Intervensi pemerintah dalam islam bisa jika hal tersebut dilakukan dalam rangka Maslahah mursalah.
3. Umar bin Khattab diakui keadilannya oleh yahudi sekalipun, dengan demikian gugur angapan bahwasanya beliau berpihak kepada para pedagang.
Daftar Pustaka
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, IIIT Indonesia, 2002.
Az-Zarqani, Syarhu Muwatha al-Imami Malik, (Kairo: Musthafa Halabi), IV, hal 153, dalam Teori Akad, Bahan Mata kuliah Fiqh. Muamalah, Dr. Anwar Ibrahim, PSKTTI, UI. 2003).
Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, Sejarah Ringkas Penguasa Islam, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2001.
Muhammad Akram Khan, Ajaran Nabi Muhammad SAW Tentang Ekonomi (Kumpulan Hadist-hadist pilihan tentang ekonomi) Bank Muamalat Indonesia, Jakarta.
Robert S. Pindyck, Daniel L. Rubinfeld, Mikroekonomi Jilid 1, edisi ke empat Pearson Education Asia, 1999
Syaikh Shafiyyurahman Al Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, Pustaka Al-Kautsar, cetakan ke 13, Januari 2003.
Syaikh Muhammad Yusuf Al-Khandlawy, Sirah Sahabat, Keteladanan orang-orang di sekitar nabi, Pustaka Al-Kautsar, Cetakan kelima, Juni 2002.
[1] Az-Zarqani, Syarhu Muwathrhai al-Imami Malik, (Kairo: Musthafa Hlabi), IV, hal 153, dalam Teori Akad, Bahan Mata kuliah Fiqh. Muamalah, Dr. Anwar Ibrahim, PSKTTI, UI. 2003.
[2] di asumsikan pendapatan masyarakat tetap dan faktor-faktor lain Cateris paribus (penulis).
[3] Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, hal 119-120
[4] Syaikh Shafiyyurahman Al Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, hal 522-523.
[5] Robert S. Pindyck, Daniel L. Rubinfeld, Mikroekonomi Jilid 1, hal 20
[6] Muhammad Akram Khan, Ajaran Nabi Muhammad SAW Tentang hal :151 - 153
[7] Sunnan At-tirmidzi, Shahih Bukhari Bab 73 dan Sunnan Abu Dawud, Shahih Bukhari bab 51.
[8] Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, IIIT Indonesia, 2002.
[9] Adiwarman Karim, Op Cit, hal 151.
[10] Syaikh Muhammad Yusuf Al-Khandlawy, Sirah Sahabat, hal 205-206.